Semangat Warga Kampung Reog Memoles Kampung Sendiri
Oleh
DODY WISNU PRIBADI
·4 menit baca
Kampung di jalan Kertajaya Surabaya, dengan semangat besarnya pada budaya reog di kota Surabaya, bukan Ponorogo -- namun juga dengan segala keterbatasannya, merayakan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-73 dengan mengecat kembali patung-patung reog di depan gang V tempat mereka tinggal. Kampung ini sejak 1950-an dihuni komunitas keluarga seniman reog yang dirintis Mbah Wagiyo sebagai grup kesenian reog "Singo Mangkujoyo".
Wawan (42), keturunan keempat Mbah Wagiyo, bersama kakak kandung dan anak, keponakan serta kerabat lain mengecat patung adegan grup tari reog di depan gerbang masuk Gang V sejak pekan lalu. Semua patung kami cat kembali. untuk menyambut kesemarakan HUT Kemerdekaan ke -73.
Aksi pengecatan dilakukan karena sejak masa Mbah Wagiyo almarhum dulu, biasanya grup reog kami mengisi keramaian di berbagai wilayah di Kota Surabaya. "Kini setelah seni reog surut dan malah tinggal kami saja, kami tidak kekurangan semangat mengisi keramaian dan merayakan HUT Kemerdekaan RI," katanya di Surabaya, Jumat (17/8/2018).
Patung itu dibuat oleh komunitas keluarga reog itu, menandai dan sekaligus sarana pemasaran grup kesenian mereka. "Kalau patung ini masih baru. Waktu itu masa kepemimpinan Wali Kota Bambang DH pada 2007. Kami minta izin dan diizinkan mendirikan patung reog di gerbang gang," katanya.
Patung adegan tari reog itu juga mengukirkan nama grup Mbah Wagiyo, "Singo Mangkujoyo". Menurut Wawan saat ini masih ada sekitar 70 kepala keluarga keturunan Mbah Wagiyo di gang V Jalan Kertajaya tersebut. Jadi gang itu merupakan gang keluarga keturunan Mbah Wagiyo, selain warga lainnya. Mereka mengaku benar-benar kelompok reog yang lahir dan besar di Kota Surabaya, bukan Ponorogo, maka berhak mengklaim sebagai reog Surabaya.
Hanya Mbah Wagiyo almarhum yang benar-benar asal dari Ponorogo, kota asal kesenian reog. Tahun 1953, Mbah Wagiyo menjalani laku berkesenian reog sekaligus mencari penghidupan ke Kota Surabaya. Demikian juga anak-anak keturunan Mbah Wagiyo di masa kini.
"Kami semua keturunan Mbah Wagiyo pemain seni reog, sampai hari ini. Hanya saja kami juga sudah bekerja sebagai bermacam-macam pekerjaan. Saya sendiri menarik becak motor, juga saudara-saudara. Ada yang berdagang, berbagai macam pekerjaan. Malahan anak saya yang masih SMP juga sudah bermain reog saat ini. Tarinya sebagai penthul, karakter partner tari reog juga sudah mahir," katanya.
Cari nafkah
Diantara kegiatan berkesenian dan mencari nafkah itu, keluarga Wawan membuka semacam kios, benda-benda seni reog. Ini juga dia anggap sebagai bagian dari cara mereka menjalani laku berkesenian sebagai pewaris seni luhur reog. Mereka melakukannya, sebagai semacam spiritualisme atau laku batin.
Benda seni yang dibuat sendiri dan dijajakan yakni, topeng karakter reog dan semua karakter pendamping tarinya, seperti macanan, barong, penthul, kuda lumping dan aneka baju-baju dan pakaian tari, juga ikat kepala, pecut (cemeti, senjata reog), celana-celana tari.
Lantaran ketrampilan membuat topeng dari bahan kertas dan lem, permintaan pasar berkembang, kini ia juga melayani permintaan membuat karakter barongsai. Permintaan yang tinggi saat Hari Raya Imlek tiba.
Yang benar-benar reog Surabaya, tinggal kami
Wawan mengaku, tinggal Grup Reog Singo Mangkujoyo yang tersisa sebagai seni reog Surabaya saat ini. Dulu masih ada beberapa, namun kini tinggal kelompok Wawam ini. "Yang lain grup seni dari luar Surabaya, khususnya Ponorogo. "Yang benar-benar reog Surabaya, tinggal kami," katanya.
Begitu juga produsen benda seni dan properti tari reog, juga hanya tinggal keluarga besarnya. Jika ada penjualnya di Pasar Wonokromo, atau Pasar Turi, itu didatangkan dari Ponorogo. Namun tidak ada perbedaan antara reog Ponorogo dan Surabaya. Hanya saja, di Surabaya kami berkesenian di luar lingkungan masyarakat reog seperti jika berada di Ponorogo.
Saat ini, kelompok Wawan dan keluarga besarnya bisa mendapat undangan main rutin (tanggapan) di depan Balai Pemuda, seminggu sekali oleh Pemerintah Kota Surabaya atas permintaan Wali Kota Tri Rismaharini. "Ordernya tidak banyak tapi rutin. Order lainnya, tidak banyak, hanya sekitar tiga kali sebulan," ujar Wawan.
Mereka biasa diundang oleh instansi jika sedang ada hajat besar, seperti wisuda. Hanya saat ini gedung Balai Pemuda sedang direnovasi, sehingga undangan mingguan itu sementara macet.