SEMARANG, KOMPAS — Dari sekitar 1.000 lembaga pelatihan kerja swasta di Jawa Tengah, 80 persen di antaranya belum ideal sehingga tenaga kerja yang dihasilkan belum optimal terserap industri. Peningkatan mutu lembaga-lembaga itu mendesak demi menurunnya angka pengangguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, per Februari 2018, jumlah angkatan kerja di Jateng 18,23 juta orang. Dari jumlah tersebut, penduduk yang bekerja ialah 17,46 juta orang, sedangkan sisanya, 0,77 juta orang, merupakan pengangguran.
Adapun tingkat pengangguran terbuka (TPT), yang menjadi indikator tak terserapnya penawaran tenaga kerja di Jateng, yakni sebesar 4,23 persen, naik 0,08 persen poin dari periode sama pada 2017. TPT paling tinggi yakni pada tingkat pendidikan D-1, D-2, dan D-3 sebesar 8,33 persen.
Kepala Bidang Pelatihan Kerja dan Produktivitas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jateng Esti Triany, di Semarang, Rabu (22/8/2018), mengatakan, guna menekan angka pengangguran, penguatan lembaga pelatihan kerja penting dilakukan.
”Ada sekitar 1.000 LPKS (lembaga pelatihan kerja swasta) di Jateng, tetapi 80 persen di antaranya membutuhkan pembinaan agar ada peningkatan mutu. Sejumlah lembaga pelatihan tak memahami TNA (analisis kebutuhan pelatihan). Padahal, TNA penting untuk menyusun kurikulum,” kata Esti.
Esti menambahkan, pemahaman TNA perlu ditanamkan sehingga lembaga kursus tak asal buka. TNA dan kurikulum harus disusun dengan baik karena terkait kebutuhan pasar. Selain itu, instruktur yang melatih juga harus memenuhi persyaratan, sedangkan yang ada saat ini banyak tak memenuhi syarat.
Menurut Esti, sarana dan prasarana di sejumlah lembaga pelatihan kerja juga terbatas. ”Contohnya, kami pernah bekerja sama dengan lembaga pelatihan kerja swasta. Mau melatih 10 orang, tetapi mesin jahitnya hanya tiga buah. Jadi, peserta pelatihan lainnya lebih banyak main HP. Ini memprihatinkan,” katanya.
Esti mengatakan, guna meningkatkan mutu lembaga-lembaga tersebut, pihaknya secara bertahap memberi bimbingan teknis kepada sejumlah LPKS, di antaranya terkait penyusunan kurikulum dan metodologi pelatihan. Diharapkan tenaga kerja yang dihasilkan akan lebih kompeten.
Penguatan LPKS-LPKS tersebut guna melengkapi balai latihan kerja (BLK) atau lembaga pelatihan milik pemerintah yang jumlahnya 35 BLK di Jateng. Adapun ke-35 BLK tersebut, dua di antaranya milik pemerintah pusat, empat milik Pemprov Jateng, dan 29 lain tersebar di sejumlah kabupaten/kota.
Dalam rangka memperbaiki mutu LPKS serta peningkatan kapasitas SDM di Jateng, Pemprov Jateng bekerja sama dengan USAID lewat Ready-to-Work Accelerator Program (RWAP). Selain pembinaan pada sejumlah LPKS, juga Lomba Keterampilan dan Bursa Kerja pada 25 Agustus.
Chief of Party USAID RWAP Toto Purwanto mengatakan, pihaknya akan mencoba menunjukkan bahwa para peserta pelatihan di sejumlah lembaga pelatihan kerja siap memasuki dunia kerja. Dengan demikian, warga yang tak mampu melanjutkan sekolah karena ekonomi dapat produktif.
Hal itu dilakukan dalam rangka menghadapi bonus demografi atau membengkaknya jumlah angkatan kerja, yang puncaknya diperkirakan pada 2030. ”Jika bonus demografi tak bisa dimanfaatkan dengan baik, justru akan jadi musibah. Karena itu, semua pemangku kepentingan mesti bergerak,” kata Toto, di sela-sela jumpa pers Lomba Keterampilan dan Bursa Kerja USAID RWAP, Selasa (21/8/2018).
Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Disnakertrans Jateng Ahmad Azis mengemukakan, selama ini Pemprov Jateng pun kerap memfasilitasi para pencari kerja dengan industri lewat bursa kerja. Namun, kerap kali ada ketidakcocokan.
Ketidakcocokan tersebut antara lain terkait kompetensi, upah, dan jarak. ”Di Kabupaten Wonogiri, misalnya, ada perusahaan yang sejak empat tahun lalu membuka lowongan untuk 14.000 pekerja, tetapi sampai sekarang baru terpenuhi 6.000. Problem-problem seperti ini yang perlu diatasi bersama,” ujar Azis.