Anak-anak Ingin Kembali Bersekolah
Liburan bisa jadi menyenangkan. Namun, jika terlalu lama, bisa menggelisahkan. Sejak gempa terjadi di Lombok, tiga minggu lalu, kegiatan belajar-mengajar terhenti. Anak-anak pun kini rindu belajar. Mereka khawatir ketinggalan materi pelajaran.
Bainija Prayastina (15) duduk termenung di pengungsian yang berada di halaman rumahnya. Sesekali ia menengok ke arah gedung SMP Negeri 2 Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, yang berjarak sekitar 15 meter dari rumahnya.
”Saya mau lihat apakah ada guru dan teman-teman yang datang untuk sekolah hari ini. Seharusnya sudah masuk, tetapi sampai hari ini belum juga,” kata warga Dusun Karang Montong Lauk, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, itu, Kamis (23/8/2018).
Siswa kelas IX SMPN 2 Pemenang itu menunggu kedatangan guru dan teman-teman sekolahnya. Dia diberi tahu bahwa kegiatan belajar-mengajar akan dimulai pada Senin (20/8). Namun, hingga tiga hari berlalu, guru dan teman-temannya belum kembali ke sekolah. Padahal, gedung sekolahnya utuh dan tidak ada kerusakan berarti akibat gempa.
Sejak gempa berkekuatan magnitudo 7,0 mengguncang Lombok, tiga pekan lalu, belum ada kegiatan belajar-mengajar hampir di semua daerah terdampak. Aktivitas di sekolah yang semula diniatkan akan dimulai hari Senin, ditunda akibat terjadi gempa M 6,9 pada Minggu (19/8) malam.
Bainija, yang tidak mendapat informasi secara jelas, tetap bersiap ke sekolah setiap pagi. Setiap pukul 07.00, dia sudah mandi dan memantau kedatangan guru dan teman-teman sekolahnya di halaman pengungsian.
Bainija mengaku sudah bosan terlalu lama tidak beraktivitas selama mengungsi. Sejak terjadi gempa, sekolah diliburkan. Tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan di pengungsian karena tidak ada kegiatan belajar untuk siswa SMP. Waktu anak remaja itu dihabiskan untuk duduk dan sesekali bermain gim di gawai.
Di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, kegiatan belajar-mengajar bahkan sudah terhenti sejak gempa pertama M 6,4 pada 29 Juli silam. Sudah hampir sebulan anak-anak belum ke sekolah lagi.
Sempat belajar
”Setelah gempa pertama pada 29 Juli lalu, kami sempat kembali belajar. Memanfaatkan tenda yang didirikan di halaman sekolah. Akan tetapi, itu hanya beberapa hari karena gempa kembali terjadi. Setelah itu, hampir tidak pernah belajar lagi,” kata Abdul Haris Jaelani (11), siswa kelas V SD Negeri 1 Sembalun Bumbung.
Siang itu, Haris dan empat temannya sedang menyapu debu yang menumpuk di ubin salah satu rumah di Dusun Lauk Rurung Baret, Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Lantai rumah itu dibersihkan karena akan dijadikan warga sebagai mushala darurat.
Sesekali Haris berhenti menyapu dan memandang ke bangunan-bangunan lain di sekelilingnya. ”Itu sekolah saya,” katanya sambil mengarahkan pandangan ke gedung SDN 1 Sembalun Bumbung, sekitar 10 meter dari tempatnya berdiri.
Gedung SDN 1 Sembalun Bumbung masih berdiri, tetapi tidak bisa digunakan lagi. Dinding sejumlah ruang kelas termasuk ruang kepala sekolah jebol. Sementara ruang-ruang lain dindingnya retak dan miring.
Di halaman sekolah, dipasang dua tenda milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Di sana diletakkan meja dan kursi, termasuk papan tulis, lemari, dan sejumlah buku bahan ajar.
”Kemarin, kelas satu sampai empat menggunakan satu tenda. Sisanya untuk kelas lima dan enam,” kata Haris.
Sejak kegiatan belajar-mengajar terhenti, Haris dan teman- temannya mengisi waktu dengan bermain. Jika malam tiba, mereka mengaji di tenda-tenda pengungsian.
”Kemarin, kami dapat bantuan buku pelajaran, buku tulis, dan bolpoin. Jadi, setiap hari mengerjakan tugas di buku itu. Saya sebenarnya pengin kembali sekolah lagi. Ingin ketemu guru dan teman-teman yang lain,” kata Haris.
Haris bukan satu-satunya anak di Sembalun yang ingin kembali masuk sekolah. Zira Salsafariza, siswi kelas V Sekolah Dasar Islami (SDI) Al Amanah Sajang, sekitar 12 kilometer utara Sembalun Bumbung, juga ingin segera kembali ke sekolah.
”Memang masih takut kalau ada gempa. Tapi saya pengin ke sekolah lagi. Sekarang, hanya belajar dari buku pelajaran di tenda pengungsian,” kata Zira.
Trauma
Karena tidak sekolah, Zira dan teman-temannya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain. Setiap hari, mereka mengunjungi posko sukarelawan psikososial dari Pusat Konseling Trauma Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang di tepi jalan raya Sembalun-Sajang, sekitar 100 meter dari tenda pengungsian di dekat permukiman warga. Di sana, mereka mengobrol dengan sukarelawan.
Fauhan Hanif Waluyo (23), salah satu sukarelawan, mengatakan, lewat upaya penyembuhan trauma, secara psikis, kondisi anak-anak di pengungsian semakin baik. Namun, jika harus kembali ke sekolah dan belajar, ada baiknya materi pelajaran diberikan secara bertahap, mengingat mereka sudah agak lama tidak belajar. Apalagi mereka masih dalam kondisi trauma akibat gempa beruntun.
Sebagian besar anak-anak di lokasi terdampak gempa memang berharap dapat kembali bersekolah. Namun, mereka tidak ingin belajar di dalam gedung karena masih trauma dengan gempa.
”Saya tidak berani kalau harus belajar di dalam gedung,” ujar Lety (14), pelajar SMPN 1 Gangga, Lombok Utara.
Di sisi lain, Lety ingin segera bersekolah karena khawatir ketinggalan materi pelajaran jika terlalu lama tidak mengikuti kegiatan belajar-mengajar. ”Takut enggak bisa mengerjakan ujian,” kata Lety.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga Senin (20/8), ada 859 gedung sekolah dari jenjang pendidikan usia dini hingga menengah atas terdampak gempa, baik itu rusak berat maupun rusak ringan. Dari jumlah itu, sebanyak 845 sekolah rusak ada di Nusa Tenggara Barat dan 14 sekolah rusak di Bali.
Jumlah kelas yang rusak berat akibat gempa Lombok mencapai 1.778 unit. Kemdikbud telah memasang 60 tenda darurat di sejumlah lokasi di Lombok untuk kebutuhan sekolah darurat. Namun, jumlah itu masih jauh dari kebutuhan karena yang dibutuhkan 754 tenda.
Ketua Tim Psikologi TNI Letnan Kolonel (Laut) Mawi Utomo mengatakan, anak-anak yang terlalu lama tidak mengakses pendidikan dapat terpengaruh kemampuan kognitifnya.
”Lama-lama mereka bisa tumpul jika tidak kunjung mendapat materi pelajaran,” kata Mawi.
Teguh (23), sukarelawan dari Baraka Nusantara, organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan, menilai, sekolah telah menjadi bagian dari rutinitas anak-anak untuk menambah ilmu pengetahuan. Jika rutinitas itu hilang, dapat membuat antusiasme anak untuk belajar menjadi surut.
(SYA/ZAK/RUL/ILO)