SLEMAN, KOMPAS — Fasilitas layanan kesehatan bagi masyarakat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional hendaknya jangan dikurangi atau dibatasi. Pembatasan pelayanan itu justru merugikan karena persoalan kesehatan terlambat ditangani sehingga mengakibatkan biaya pengobatan yang lebih besar.
Masalah berkurangnya fasilitas layanan itu muncul sejak diterbitkannya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018. Ketiga peraturan itu mengatur tiga pelayanan dalam program jaminan kesehatan, yaitu penjaminan pelayanan katarak, penjaminan pelayanan persalinan dengan bayi lahir sehat, dan penjaminan pelayanan rehabilitasi medik.
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Darwinto, Jumat (24/8/2018), mengatakan, semenjak adanya peraturan tersebut, jumlah penanganan terhadap pasien rujukan untuk penyakit katarak menurun. Adapun dalam penanganan katarak, jumlah operasi per bulan hanya dibatasi 20-30 operasi.
”Jumlah kunjungan mengalami penurunan karena pasien tidak bisa mendapat rujukan sehingga mandek di layanan yang lebih rendah. Kami khawatir, dengan adanya peraturan ini, justru menyebabkan penurunan layanan. Pasien ingin ditangani lebih baik, tetapi kalau ada benturan dengan peraturan ini, dia tidak bisa dirujuk ke tempat yang lebih baik,” tutur Darwinto saat menerima kunjungan kerja Komisi IX DPR di RSUP Sardjito, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut data RSUP Dr Sardjito, jumlah kunjungan untuk pasien katarak dari Juli hingga Desember 2017 mencapai 2.123 kunjungan. Namun, saat ini, jumlah kunjungan dari Juli hingga Agustus 2018 baru mencapai 534 kunjungan.
”Secara jumlah memang belum tampak. Tetapi, saya meyakini, setelah berlakunya peraturan ini, akan terjadi penurunan jumlah kunjungan,” kata Darwinto.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Cabang Yogyakarta Purdjanto Tepo Utomo mengungkapkan, pembatasan pelayanan justru memperparah kondisi pasien sehingga menambah biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobati pasien tersebut.
”Jika terlambat penanganan, akan menimbulkan komplikasi. Hal itu lebih merugikan lagi bagi pasien,” lanjut Purdjanto.
Ia menambahkan, pembatasan itu juga akan mempersulit kehidupan masyarakat apabila penderita katarak adalah tulang punggung keluarga. Terhambatnya mobilitas penderita katarak akan memengaruhi perekonomian keluarga penderita tersebut.
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Golkar Ichsan Firdaus menyampaikan, peraturan mengenai pembatasan pelayanan itu muncul karena terjadinya defisit di BPJS Kesehatan. Ia mengungkapkan, defisit sebesar Rp 3,3 triliun dialami pada 2014.
Tahun 2015, lanjutnya, defisit terhitung sebesar Rp 5,7 triliun. Jumlah defisit bertambah hingga Rp 9,7 triliun pada 2017. Diperkirakan, defisit bisa mencapai Rp 11 triliun pada 2018.
”Kami tidak ingin karena alasan defisit kemudian terjadi pengurangan pelayanan kesehatan sehingga berdampak luas terhadap kualitas kesehatan di Indonesia,” ujar Ichsan seusai kunjungan kerja tersebut.
Darwinto mengkritisi terkait dikeluarkannya pembatasan pelayanan itu oleh pihak BPJS Kesehatan. Menurut dia, seharusnya yang mengeluarkan peraturan itu adalah Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pihak yang memiliki kekuatan untuk mengatur pelayanan kesehatan di masyarakat adalah Kementerian Kesehatan.
Adapun menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (Kompas, 30 Juli 2018).
Sementara itu, Andayani Budi Lestari, Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS, menyatakan, peraturan yang telah dibuat itu bersifat kolektif kolegial sehingga perlu disepakati oleh delapan unsur pimpinan yang ada di lembaga tersebut.
”Peraturan ini dibuat dengan proses yang lama. Tidak mendadak dibuat begitu saja. Mungkin, implementasi di lapangan masih tidak seragam dan pelaksanaannya kurang sosialisasi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kami,” kata Andayani.