Senggigi Pun Kehilangan Taji
Gempa Lombok mengoyak sektor pariwisata yang menjadi pundi-pundi ekonomi NTB. Hotel, kafe, dan warung sepi. Wisatawan menunda kunjungan. Pelaku wisata hanya bisa berharap dari para sukarelawan yang sedang bekerja di sana.
Syamsudin (46) duduk dengan muka murung sambil menunggu barang dagangannya di tepi Pantai Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Jumat (24/8/2018) siang. Sejak pagi, belum satu pun mutiara air tawar yang dia jajakan terjual.
”Ayo mutiara... mutiara...,” teriak Syamsudin saat satu-dua orang melintas di Pantai Senggigi. Pantai yang biasanya dipadati ribuan wisatawan, baik asing maupun domestik, terutama pada bulan Juli-Agustus, kini lengang.
Gempa tidak hanya membuat rumah Syamsudin rusak parah, tetapi juga mata pencariannya. Di masa normal, pendapatan Syamsudin rata-rata Rp 500.000 per hari. Bulan Juli-Agustus penghasilannya bisa mencapai Rp 750.000-Rp 1 juta per hari. ”Sudah tiga hari ini saya buka. Paling hanya dapat satu pembeli,” ucap Syamsudin.
Sejak gempa berkekuatan Magnitudo 7,0 melanda Lombok, tiga pekan lalu, destinasi wisata ikut terdampak. Pantai Senggigi yang biasanya menjadi magnet wisata ikut kehilangan taji. Tidak ada lagi lalu lalang turis di pantai, di tepi jalan, ataupun di kafe dan restoran.
Senggigi mendadak menjadi sepi dari pagi hingga malam hari. ”Biasanya sampai pukul tiga pagi masih ramai, sekarang pukul delapan malam sudah sepi,” kata Syahdan (40), warga Desa Senggigi, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat.
Anjloknya pendapatan juga dirasakan Nurul (26), pedagang sate bulayak di Pantai Senggigi. Jika saat normal dia bisa menjual sekitar 200 porsi sate bulayak, kini tidak lebih dari lima porsi terjual setiap hari. Sate bulayak terdiri dari daging ayam, daging sapi, atau jeroan yang dijual seharga Rp 25.000. ”Sejak gempa, harga ayam naik dari Rp 45.000 per kilogram menjadi Rp 65.000 per kilogram. Keuntungan menjadi berkurang,” katanya.
Hotel dan kafe sepi
Yuliana Sahara (29), pegawai Papaya Cafe di Senggigi, mengatakan, jumlah pengunjung kafe menurun drastis pascagempa. Biasanya pada musim puncak kedatangan wisatawan seperti saat ini, kafe selalu ramai pengunjung. Kebanyakan pengunjung adalah wisatawan mancanegara, terutama dari Eropa. ”Sekarang kadang hanya satu atau dua pengunjung datang per hari, biasanya puluhan,” kata perempuan yang biasa disapa Yuli itu.
Penurunan jumlah pengunjung membuat jam operasional kafe berubah, dari sebelumnya pukul 11.00 sampai pukul 01.00 sekarang beroperasi dari pukul 15.00 sampai pukul 23.00. ”Pegawai yang dulu dibagi dalam dua sif kerja sekarang hanya satu sif kerja. Live music di kafe yang biasanya diadakan setiap malam sekarang ditiadakan,” ujar Yuli.
Setelah gempa, tingkat okupansi hotel di Senggigi juga anjlok, bahkan ada yang ditutup karena perbaikan. Merujuk data Badan Pusat Statistik NTB, terdapat 106 hotel di Lombok Barat yang sebagian besar berada di kawasan Senggigi.
Puri Mas Hotel Senggigi, misalnya, masih ditutup karena dalam proses perbaikan. Sebagian bangunan rusak akibat gempa. Biasanya, tingkat hunian di hotel itu 80 persen dari 41 kamar. ”Sudah ada lima grup wisatawan yang membatalkan pesanan kamar,” ucap Dewa Made Wija, Residence Manager Puri Mas Hotel Senggigi.
Di Hotel Aruna Senggigi, tingkat hunian hotel anjlok hingga tersisa 15 persen dari 142 kamar, padahal pada waktu normal mencapai 90 persen. ”Mereka mencari kamar di lantai paling bawah,” kata Indah Puritiara dari Bagian Humas Hotel Aruna Senggigi.
Pantai Nipah
Kondisi serupa terjadi di Pantai Nipah, Lombok Utara, sekitar 10 kilometer dari Pantai Senggigi. Pantai ini terletak di antara Senggigi dan Pelabuhan Bangsal yang biasa digunakan untuk menyeberang ke Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air.
Setiap kali ada kendaraan roda empat atau roda dua melintas, Alinah (50), pedagang ikan bakar, berteriak memanggil untuk mampir. ”Gempa kemarin benar-benar berdampak ke pedagang ikan bakar di sini. Kami yang buka lagi juga masih takut, tetapi tidak ada pilihan lain. Kalau menggantungkan hidup dari bantuan, tidak cukup,” katanya.
Di kawasan itu, dari 21 warung, hanya 10 warung yang buka. Itu belum termasuk warung-warung lain di pinggir jalan lain dari Senggigi hingga Pemenang dan di tepi pantai. Menurut Alinah, seharusnya bulan Agustus hingga Oktober adalah kesempatan mereka untuk mendapatkan keuntungan lebih besar mengingat bulan-bulan itu adalah musim ramai wisatawan. Hanya saja, karena ada gempa bumi, apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapan.
Pasangan suami-istri Hamzan Wadi (29) dan Nurul Handayani (25) yang membuka warung makan ikan bakar di kawasan Nipah mengatakan, omzet mereka menurun pascagempa akibat minimnya kunjungan wisatawan. ”Biasanya pada bulan begini (Agustus) penghasilan kami Rp 800.000 sampai Rp 900.000 per hari karena banyak wisatawan mampir. Sekarang paling hanya dapat separuhnya,” ungkap Nurul.
Dalam kondisi seperti itu, Alinah, Hamzan, Nurul, dan pedagang lain tetap bisa berharap dari sukarelawan atau tim penanggulangan gempa Lombok yang ingin makan siang. Pada Jumat siang itu, memang yang berhenti dan makan di sana rata-rata sukarelawan yang baru pulang atau hendak berangkat menuju lokasi pengungsian.
Agusdin, dosen Manajemen dan Bisnis Universitas Mataram, mengatakan, gempa Lombok telah mengoyak sektor pariwisata yang menjadi pundi-pundi ekonomi NTB. Pedagang belum berani berjualan di pasar karena terjadi gempa susulan dan takut bangunan pasar runtuh. Buruh bangunan kehilangan penghasilan karena masih trauma. Kemudian wisatawan masih menunggu kondisi aman untuk berwisata ke Lombok.
”Rabu malam lalu, saya naik pesawat dari Bandung ke Lombok. Dari 200 kapasitas tempat duduk, yang terisi penumpang cuma 30 kursi,” ujar Agusdin.
(ILO/SYA/ZAK/JUM/RUL)