Bersama dengan Jakarta, Palembang pada 18 Agustus-2 September 2018 menjadi tuan rumah perhelatan olahraga Asian Games. Salah satu yang ditampilkan dalam acara ini adalah kain jumputan palembang yang dikenal sebagai kain pelangi. Kain ini dipamerkan dan diperjualbelikan di berbagai tempat, seperti hotel dan Kompleks Olahraga Jakabaring. Kain pelangi merupakan salah satu kain khas Palembang selain songket dan tajung atau blongsong. Sempat digemari banyak orang pada 1980-an, ketika desainer busana Ghea menjadikannya sebagai salah satu karya rancangannya.
Berbeda dengan songket, kain pelangi mengalami masa pasang surut. Sekitar akhir 1990, permintaan kain pelangi yang berharga ratusan ribu rupiah ini menyurut. Kain pelangi dibuat dengan teknik rincek-tritik. Kain dijelujur sesuai pola motifnya, lalu benangnya ditarik kuat sampai berkerut-kerut. Setelah itu, kain dicelupkan ke dalam larutan pewarna. Teknik lainnya adalah dengan menjahit dan mengikat kuat-kuat bagian-bagian tertentu. Setelah itu dicelupkan dalam larutan pewarna untuk menghasilkan motif yang diinginkan. Teknik ini disebut tie and dye. Biasanya perajin kain pelangi menggunakan kedua teknik tersebut. Motifnya bintik tujuh, kembang jamur, bintik lima, bintik sembilan, kuping, keong, mawar, bintang dan cucung atau terong. Warnanya pun beragam. Ada yang cenderung gelap seperti kehitaman, kecoklatan, dan merah hati. Pilihan lainnya berwarna lembut, bahkan warna-warna pastel dengan gradasi warna dalam satu kain. Kain pelangi relatif luwes, bisa dipakai di berbagai kesempatan resmi ataupun sekadar pergi jalan-jalan. Kain pelangi juga dijual beserta selendang, serta ada pula setelan untuk baju wanita dan kemeja pria (sarimbit).
Sementara songket umumnya berkesan kaku sekaligus mewah. Songket biasanya dipakai untuk acara pernikahan dan acara resmi lainnya. Konon, sudah menjadi barang hadiah sejak tahun 700-an pada masa Kerajaan Sriwijaya. Para gadis yang hendak menikah diwajibkan menenun sendiri songket untuk upacara pernikahannya. Songket palembang biasanya memakai benang emas dengan warna dasar, seperti merah, hijau, biru, ungu, krem, dan hitam. Motif pun beragam, seperti bunga betawur, puncak rebung, berakem, bunga cina, intan, limar, bunga anggur, bunga pacik, tajuk rumpak, dan cembuk. Sempat menyurut saat Jepang menjajah Indonesia karena bahan baku seperti benang sutra dan benang emas sulit didapatkan. Agar bisa tetap menenun, perajin mengambil benang emas dari kain songket lama yang sudah rusak dan digunakan untuk menenun songket baru.
Tahun 1966, songket bangkit kembali. Bahan baku diperoleh dari India, China, dan Taiwan. Sekitar 1980, para perajin songket membentuk koperasi agar mudah mendapatkan bahan baku dan memasarkan produknya.