Belasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Menunggu Penyelesaian
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Belasan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat termasuk kasus pembunuhan terhadap Munir Said Thalib masih menunggu penyelesaian. Berkas penyelidikan kasus-kasus tersebut telah bertahun-tahun berada di Kejaksaan Agung, menunggu tindaklanjut pada tahap penyidikan hingga proses peradilan.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan penyelidikan terhadap kasus-kasus itu telah selesai sejak beberapa tahun silam dan dilimpahkan ke Kejagung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Namun faktanya, berkas itu hanya disimpan hingga berumur lima tahun bahkan sampai 15 tahun.
Kejagung beralasan berkas tidak dapat ditindaklanjuti karena kurang alat bukti, alat bukti yang ditemukan dianggap lemah, atau hasil penyidikan dinilai hanya berdasarkan opini.
"Padahal menurut Komnas bukti permulaan yang ditemukan itu sudah cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses penyidikan,” ujar Beka, disela acara diskusi publik Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, di Hotel Greensa Juanda, Kamis (30/8/2018).
Komnas HAM mencatat hingga saat ini sudah ada 11 kasus pelanggaran HAM berat yang diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM dan diserahkan ke Kejagung. Kasus-kasus itu adalah peristiwa tahun 1965-1966, penembakan misterius (petrus), peritiwa Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998, Trisaksi dan Semanggi I serta Semanggi II, penculikan aktivis tahun 1977-1998, peristiwa Wasior dan Wamena. Selain itu ada empat kasus pelanggaran HAM berat di Aceh mulai dari peristiwa Simpang KAA, Timpang Gajah, Jambu Keupok, hingga Rumah Geudong.
Terkait upaya mencari penyelesaian kasus pelanggaran HAM, pihaknya telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan memberikan pertimbangan. Salah satunya menyarankan supaya pemerintah memulai penanganan dari kasus Wasior dan Wamena.
Alasannya, bukti permulaan cukup dan sangat kuat, serta saksi-saksi masih hidup. Yang tidak kalah penting, peristiwa itu terjadi setelah tahun 2000. Artinya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah tidak memerlukan persetujuan DPR RI untuk menindaklanjuti penyidikan kasus. Cukup dengan mengeluarkan keputusan presiden yang memerintahkan dilakukan penyidikan.
Ungkap dalang
Beka menambahkan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat pemerintah hendaknya menggunakan mekanisme judisial bukan non judisial. Meskipun pihaknya tetap menghargai beberapa upaya penyelesaian non judisial yang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah.
Melalui mekanisme judicial, keadilan bisa ditegakkan. Alasannya, kontruksi kasus yang sebenarnya terjadi bisa diungkap, sekuen waktunya, tempat, pelaku hingga bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Apakah pembunuhan, penyiksaan, perampasan dan lainnya. Pelaku juga bisa diungkap mulai dari dalangnya hingga pihak yang mengeksekusi di lapangan.
Tidak hanya itu dengan mekanisme judicial para korban pelanggaran HAM berat bisa mendapatkan keadilan penuh sebab pengadilan akan memutuskan pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi.
Beka mengatakan terkait dengan kasus pembunuhan terhadap aktivis Kontras Munir Said Thalib, Komnas HAM akan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang isinya meminta supaya pemerintah melanjutkan kembali proses justicia berdasarkan hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF).
“Kebebasan Policarpus (pembunuh Munir) tidak diiringi dengan pengungkapan pelaku utama. Hal ini harus menjadi momentum menuntaskan kasus pelanggaran HAM tersebut sebab masih banyak hal belum terungkap seperti dalang pembunuhan dan motifnya,” kata Beka Ulung.
Pernyataan senada juga disampaikan Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Surabaya Abdul Wahid. Pihaknya meminta pemerintah segera membuka dokumen TPF Munir yang telah diserahkan oleh pemerintah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Sekretariat Negara.
“LBHI sudah berkirim surat ke Presiden Joko Widodo untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut berdasarkan dokumen TPF Munir,” ucap Abdul.
LBHI juga sudah mengajukan gugatan yang isinya meminta agar Presiden Jokowi membuka dokumen TPF kepada Komisi Informasi Publik. Namun ada pengakuan dari Setneg bahwa dokumen TPF Munir yang asli telah hilang.