Tenda dan Alat Tulis Minim
Sekolah darurat bagi anak-anak korban gempa Lombok mulai berjalan. Namun, aktivitas itu belum normal. Selain keterbatasan tenda darurat, fasilitas mendasar pun belum tersedia.
MATARAM, KOMPAS Hingga hari ketiga sekolah setelah gempa, Rabu (29/8/2018), kegiatan belajar-mengajar di lokasi terdampak gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, belum normal. Banyak sekolah yang tidak memiliki tempat dan perlengkapan belajar, seperti buku dan alat tulis.
Di SMP Negeri 1 Pemenang, Lombok Utara, siswa-siswi kelas VII sampai IX masih dikumpulkan dalam satu lokasi di halaman sekolah. Mereka duduk lesehan di bawah pohon untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar. ”Hal ini terpaksa dilakukan karena sekolah darurat yang akan dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di halaman sekolah baru sebatas fondasi,” kata Kepala SMPN 1 Pemenang Khaeriah.
Mereka juga belum memiliki tenda untuk dijadikan ruang kelas darurat. ”Kalau cuaca panas, belajar di bawah pohon tanpa tenda pun tidak masalah karena sudah teduh. Yang kami khawatirkan itu kalau hujan, kegiatan belajar-mengajar pasti tidak bisa dilakukan,” ucap Khaeriah.
Menurut dia, dengan kondisi seperti itu, mereka belum bisa memulai kegiatan belajar-mengajar seperti biasa. Akhirnya, guru dan siswa mengisi waktu dengan pemulihan psikis.
Hal serupa juga dialami SDN 8 Sokong, Kecamatan Tanjung. Di sana kegiatan belajar-mengajar juga masih dilakukan di halaman sekolah dengan alas terpal. ”Sampai sekarang belum kebagian. Kami sudah mengajukan, tetapi belum datang. Terpal yang dipakai jadi alas ini didapat dari relawan. Kalau sekolah seperti ini, saat matahari tinggi, siswa kami dibubarkan. Belum lagi kalau hujan,” kata guru SDN 8 Sokong, I Gusti Nyoman Angsoka.
Meski sudah memiliki tenda, beberapa sekolah mengaku masing kurang. SDN 2 Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, misalnya, baru memiliki dua tenda bantuan dari donatur. Tenda itu dipasang di halaman sekolah. Satu tenda digunakan untuk siswa kelas III dan IV. Satu lagi untuk siswa kelas V dan VI. Siswa-siswi kelas I dan II masih belajar di tenda pengungsian yang berada di lapangan seberang sekolah.
”Kami masih perlu empat tenda lagi. Sebab, idealnya, satu kelas itu satu tenda. Kalau masih digabung seperti sekarang, pembelajaran kurang efektif,” kata Kepala SDN 2 Sigar Penjalin Amanah.
Masih kurang
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara Fauzan mengatakan masih kekurangan tenda untuk sekolah darurat untuk tingkat TK hingga SMA. Dari sekitar 200 tenda yang dibutuhkan, baru 20 tenda yang terpenuhi dan sebagian besar tenda itu untuk di pengungsian.
Menurut Fauzan, yang sangat dibutuhkan saat ini adalah terpal plastik berukuran 8 meter x 8 meter atau 6 meter x 8 meter untuk kegiatan sekolah darurat. Karena keterbatasan tenda itu, siswa SD membuat tenda dari terpal plastik berukuran kecil atau daun kelapa yang dianyam sebagai atap. Mereka kemudian duduk beralaskan tikar plastik di dalam tenda dan mengikuti mata pelajaran yang disampaikan guru.
Selain tenda, para pelajar juga membutuhkan buku dan alat tulis bagi siswa. Begitu juga dengan seragam, tas, dan sepatu. Hal itu karena perlengkapan belajar, pakaian, dan sepatu siswa ikut tertimbun reruntuhan bangunan rumah. ”Seragam dan sepatu yang paling dibutuhkan saat ini. Untuk buku tulis, sudah mulai dibantu donatur,” kata Abdul Maad, guru di SDN 1 Sajang, Sembalun, Lombok Timur.
Terkait seragam, menurut Abdul Maad, pihak sekolah memperbolehkan siswa untuk berpakaian bebas. Hal itu juga berlaku di sekolah lain, seperti SDN 2 Malaka, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang.
Di sekolah itu, siswa belajar di bawah tenda plastik yang dibentangkan sebagai atap. Lalu, di bawah naungan itu, dibuat sekat masing-masing sebagai ruang belajar siswa kelas I hingga VI. Para siswa duduk beralaskan tikar plastik.
Dari pantauan di lapangan, banyak siswa kurang antusias. Masih banyak siswa yang bengong. Selain itu, beberapa orangtua terlihat datang ke sekolah untuk melihat kegiatan anaknya. Yunis Setiawati (41), orangtua Raden Ajik (6), mengatakan, anaknya yang baru kelas I sebenarnya tidak trauma. ”Dia dari kemarin bersemangat untuk masuk sekolah. Bahkan, tadi dia meminta saya pulang. Tetapi, saya tidak mau karena justru saya yang masih takut membiarkannya,” kata Yunis. (RUL/JUM/ZAK)