Awan tebal yang menggelayut sejak pagi di atas Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tak kunjung sirna. Ditambah angin kencang pertengahan kemarau membuat udara di kaki sisi timur Gunung Kawi itu kian dingin meski jarum jam telah menunjukkan pukul 11.00 lebih, Selasa (31/7/2018).
Di sepanjang jalan aspal menanjak, selepas gapura besar pintu masuk desa, aktivitas warga di daerah sentra jeruk itu semakin terasa. Ada yang menjajakan jeruk di kios kecil di tepi jalan, sebagian lagi membawa karung berisi jeruk dari kebun menuju rumah, dan sebagian lainnya mengemas buah itu ke dalam peti-peti kayu untuk dikirim ke luar daerah.
Adapun di kebun dan pekarangan, buah jeruk kekuningan masih menggantung di pohon menunggu dipetik. ”Sekarang lagi musim panen raya. Biasanya panen berlangsung bulan April sampai Oktober,” ujar H Sulaiman (72), petani di Desa Selorejo. Pagi itu, Sulaiman menemani beberapa wisatawan lokal yang tengah menikmati wisata petik jeruk di kebunnya.
Sulaiman memiliki lahan jeruk seluas 1 hektar dengan 1.000 pohon, terdiri dari jeruk siam, keprok punten atau kini sering disebut keprok batu 55, jeruk peras (baby), siam madu, dan yang paling baru dibudidayakan sejak tiga tahun lalu adalah jeruk asal China.
”Yang jeruk asal China ini saya namai sendiri cinghua. Jeruk ini biasa dikonsumsi saat imlek,” katanya sambil terkekeh. Pohon jeruk di kebun milik Sulaiman umumnya berumur 24 tahun. Sebelum jadi kebun jeruk tahun 1990-an, lahan tersebut hanya ditanami sayur.
Jeruk yang dibudidayakan petani di kaki Gunung Kawi ini memiliki karakter yang khas. Untuk keprok batu 55, misalnya, punya rasa manis campur sedikit asam. Kulit buahnya tidak terlalu tebal. Begitu pula jeruk baby memiliki kandungan air yang banyak.
Menurut Sulaiman, hasil panen jeruk tahun ini lebih bagus dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Buahnya lebih lebat. Selain cuaca yang baik, pemeliharaan yang tepat juga membuat buah berproduksi maksimal. Produktivitas jeruk di Selorejo berkisar 60-80 ton per tahun.
Masalahnya, harga jeruk saat ini agak turun. Jeruk siam manis dan baby, misalnya, di tingkat petani hanya Rp 6.000 per kilogram dan keprok batu 55 Rp 8.000 per kg untuk yang berkualitas bagus. Tahun lalu harga menyentuh Rp 10.000 untuk keprok dan siam.
”Yang baby harganya cenderung stabil. Kalau keprok dan siam banyak saingan jadi harganya turun,” ujar Sulaiman. Ia biasanya mengirim jeruk ke Jakarta 3-5 kali dalam sepekan dengan volume 4 ton sekali kirim. Dalam setahun biasa mengirim sekitar 160 truk atau 640 ton jeruk ke Jakarta.
Wisata petik
Sulaiman juga membuka wisata petik jeruk. Wisatawan bisa makan jeruk sepuasnya di dalam kebun dengan hanya membayar tiket Rp 20.000 per orang. Saat akhir pekan atau libur panjang, jumlah wisatawan mencapai 100 orang per hari.
Selorejo merupakan sentra jeruk di Kecamatan Dau. Dari total lahan jeruk seluas lebih dari 700 hektar di Dau, 315 hektar berada di Selorejo. Sisanya tersebar di beberapa desa, seperti Gadingkulon. ”Di Selorejo ada 300 petani yang menanam jeruk. Jadi, semua orang punya tanaman jeruk,” ucapnya.
Pranoto, petani di Desa Gadingkulon, mengatakan, jika pada awal musim panen harga terendah Rp 6.000 per kg, saat ini sudah naik menjadi Rp 7.500 per kg. Pranoto memiliki lahan 5.000 meter persegi dengan 500 batang pohon.
Berbeda dengan Selorejo yang petani menginisiasi wisata petik jeruk, menurut Pranoto, di Gading Kulon belum ada. Mereka mengandalkan pedagang untuk membeli hasil panen. Bahkan, sejumlah petani mengeluhkan harga dan kurangnya pasar. Hal itu pernah dikeluhkan kepada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman saat peluncuran program bantuan 1 juta bibit jeruk unggul untuk masyarakat di Batu, Juli lalu.
Dau hanya salah satu kawasan di lereng kaki Gunung Kawi yang menjadi sentra jeruk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi jeruk di Kabupaten Malang pada 2016 mencapai 990.620 ton. Dari jumlah itu, 788.025 ton di antaranya berasal dari Dau.
Adapun di Kota Batu, produksi jeruk selama 2016 sebanyak 141.523 ton. Menurut Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso, jeruk keprok batu 55 merupakan varietas asli setempat. Animo petani setempat menanam jeruk juga tumbuh. Sebagian dari mereka menanam jeruk untuk menggantikan apel yang tidak lagi produktif.
”Tantangan ke depan adalah bagaimana petani bisa mengembangkan jeruk dan apel. Di Batu jarang beredar jeruk asing di pasaran. Yang ada jeruk lokal batu 55. Kami sudah meminta pelaku wisata, khususnya pihak perhotelan, untuk menyediakan dua jenis buah asli batu di tiap kamar, yakni jeruk dan apel. Kami sedang membuat rancangan peraturan daerah soal ini,” kata Punjul di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Batu, pada awal Agustus. (WER)