BANDA ACEH, KOMPAS — Penghakiman massa marak terjadi di Aceh karena adanya pemahaman warga yang keliru yang menganggap penghakiman massa adalah bentuk hukuman adat. Lembaga adat di desa diminta lebih berperan untuk menyelesaikan perselisihan warga sehingga penghakiman massa bisa dihindari.
Delapan bulan terakhir, sedikitnya ada tujuh korban penghakiman massa terhadap terduga pelaku kejahatan di Aceh. Korban diduga melakukan perbuatan mesum, percobaan pemerkosaan, hingga pencurian buah jengkol. Korban dihakimi dengan dimandikan air comberan hingga pemukulan sampai tewas.
Dosen Ilmu Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Abdurrahman, saat diminta tanggapannya perihal penghakiman massa yang akhir-akhir ini marak di Aceh, Senin (3/9/2018), mengatakan, ada pemahaman yang keliru dari warga soal penghakiman massa. Penghakiman massa dianggap sebagai hukuman adat. Padahal, hukuman adat tidak merendahkan martabat manusia dan harus melalui proses peradilan adat.
”Perilaku penghakiman massa juga terjadi karena ada pergeseran nilai dalam masyarakat dari sebelumnya mengedepankan kebersamaan, tetapi kini semakin individualistis,” kata Abdurrahman.
”Nilai-nilai kebersamaan semakin luntur sehingga tidak lagi menganggap orang lain bagian dari dirinya. Perlu gerakan untuk menumbuhkan nilai kebersamaan kembali,” ujar Abdurrahman.
Perlu gerakan untuk menumbuhkan nilai kebersamaan kembali.
Sementara Ketua Majelis Adat Aceh Badruzzaman Ismail mengatakan, kasus penghakiman massa bukan bentuk hukuman adat, melainkan perbuatan melanggar hukum pidana. Badruzzaman menyesali kasus penghakiman massa marak di Aceh. Artinya, lembaga adat di desa belum berperan sepenuhnya. Padahal, lembaga adat berkewajiban menyelesaikan perselisihan yang terjadi di desa.
Menurut Badruzzaman, aparatur desa harus bergerak cepat. Saat ada masalah, jangan menunggu kasus itu membesar. Selain itu, sosialisasi hukum perlu digalakkan ke desa-desa agar melahirkan warga yang taat hukum.
Hingga tewas
Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Aceh Timur. Seorang warga, NR (18), tewas dikeroyok massa setelah diduga melakukan percobaan pemerkosaan terhadap NY (22), warga di Desa Mesjid, Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur, Kamis (30/8/2018).
Saat kejadian, NY berteriak minta tolong dan NR pun melarikan diri. Namun, keesokan harinya, NR ditangkap warga. Tanpa proses hukum, NR dipukuli beramai-ramai. Dalam keadaan kritis, NR dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong (Kompas, 3/9/2018).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Timur Ajun Komisaris Erwin Satrio Wilogo mengatakan, beberapa orang telah dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun, belum ada yang ditetapkan tersangka. ”Pelaku tetap ditindak agar perilaku seperti itu (penghakiman massa) tidak jadi budaya,” kata Erwin.
Penghakiman massa sebelumnya terjadi di Aceh Barat Daya. D (50) tewas setelah dipukuli massa karena tuduhan berbuat mesum, Sabtu (12/3/2018). Setelah itu, di Lhokseumawe, seorang anak inisial AB (16) dipukuli massa karena dituduh mencuri telur, Senin (15/4/2018).
Kasus serupa juga dialami MM (21) dan MJ (40), warga Aceh Utara, yang dipukuli warga atas tuduhan mencuri buah jengkol. Sementara pada Sabtu (28/7/2018) di Langsa, sepasang suami-istri dimandikan air comberan atas tuduhan melakukan perbuatan mesum. Meskipun korban telah menjelaskan bahwa mereka telah menikah, warga tidak memedulikannya.