Warga Blang Bintang Tolak Ganti Rugi
Pembebasan lahan Jalan Tol Trans-Sumatera di ruas Banda Aceh-Sigli terhambat. Warga menolak karena nilai ganti rugi di bawah harga pasar.
JANTHO, KOMPAS Pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera di Aceh, khususnya ruas Banda Aceh-Sigli, terhambat. Warga Desa Data Makmur, Teupin Batee, dan Kayee Kunyet, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, tidak mau melepaskan tanah lantaran ganti rugi dianggap terlalu rendah.
Kepala Desa Data Makmur Zamzami, Senin (3/9/2018), menuturkan, harga yang ditawarkan untuk pembebasan tanah di bawah standar harga pasar. Warga tidak akan memberikan lahan jika ganti rugi tidak direvisi.
Ganti rugi yang ditetapkan tim penilai bervariasi, Rp 30.000-Rp 265.000 per meter persegi. Harga tergantung letak lahan dan tingkat produktivitas. Harga tersebut jauh di bawah nilai jual beli.
”Kami sangat setuju pembangunan jalan tol di Aceh. Tetapi, kami tidak mau dizalimi dengan ganti rugi yang terlalu murah,” kata Zamzami.
Warga Desa Kayee Kunyet, Adli Sulaiman (50), yang tidak setuju melepaskan tanah, mengatakan, lahan sawahnya seluas 500 meter persegi dihargai Rp 15 juta atau Rp 30.000 per meter persegi. Padahal, lahan sawahnya produktif. ”Standar harga jual beli tanah sawah di sini Rp 130.000 per meter persegi. Saya tidak setuju,” kata Adli di lahan sawah yang memasuki masa panen.
Menurut Adli, dengan uang ganti rugi Rp 15 juta, dirinya tidak dapat membeli lahan sawah di lokasi lain dengan luas sama. Padahal, sawah merupakan gantungan hidup. Sawah Adli digarap setahun dua kali.
Zamzami mengatakan, warga telah lama menanti proses pembayaran ganti rugi lahan untuk pembangunan jalan tol. Warga bahagia ketika mendapatkan kabar ganti rugi segera dibayar. Namun, saat diberi tahu harga ganti ruginya, sejumlah warga langsung menyatakan keberatan.
Jalan Tol Trans-Sumatera di Aceh direncanakan dibangun dalam empat tahapan. Tahap pertama dari Aceh Besar sampai Pidie (Banda Aceh-Sigli) sejauh 75 kilometer, tahap kedua dari Pidie sampai Lhokseumawe sepanjang 135 km, tahap ketiga dari Lhokseumawe sampai Langsa sepanjang 135 km, dan terakhir dari Langsa hingga Binjai, Sumatera Utara, sejauh 110 km.
Senin kemarin, perwakilan warga mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Kepada Ketua Komisi I Iskandar Usman mereka menyampaikan, harga ganti rugi merugikan warga. Iskandar berjanji akan menyurati para pihak untuk mencari solusi. ”Pembangunan jalan tol harus berlanjut, tetapi hak warga tak boleh dipinggirkan. Saya akan meminta penjelasan dari para pihak,” ujarnya.
Sesuai aturan
Pejabat pembuat komitmen Jalan Tol Sigli-Banda Aceh, Alfisyah, mengatakan, penetapan harga dilakukan oleh tim independen dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Besaran harga tanah berdasarkan tata letak lahan dan tingkat produktivitas lahan. Penentuan harga dilakukan dengan cermat dan sesuai aturan.
”Tim KJPP punya rumus dalam menentukan nilai ganti rugi. Keputusan mereka tidak bisa diubah kecuali ada perintah pengadilan,” katanya.
Alfisyah menyarankan warga yang tidak setuju dengan nilai ganti rugi yang ditentukan agar menggugat ke pengadilan. Jika pengadilan memerintahkan revisi, tim penilai akan menjalankan putusan. ”Warga punya hak untuk menyanggah. Ini persoalan yang sering terjadi dalam pembangunan jalan tol. Saya yakin proses pembangunan tidak akan terhambat,” ujarnya.
Selain pembebasan tanah milik warga, pemerintah juga membayar ganti rugi bagi petani penggarap kawasan hutan atau tanah negara. Besaran ganti rugi bagi pengelola kawasan hutan Rp 12.000 per meter persegi. ”Warga penggarap kawasan hutan tidak protes besaran pembayaran,” kata Alfisyah.
Ia menambahkan, kebutuhan anggaran untuk pembebasan lahan 3.250 bidang tanah di ruas Tol Banda Aceh-Sigli Rp 1,986 triliun. Ruas itu dibangun PT Hutama Karya. Pengerjaan konstruksinya direncanakan dimulai awal 2019. Sejauh ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mengirimkan surat permohonan pencairan anggaran pada Kementerian Keuangan Rp 350 miliar. Pembangunan ruas Sigli-Binjai dilakukan pada tahap selanjutnya.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Amri, mengatakan, Aceh sangat membutuhkan jalan tol. Sebab, beban jalan nasional lintas timur Sumatera kian berat dengan bertambahnya volume kendaraan. Pembangunan jalan tol dinilai akan mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan lain. Jalan tol juga akan memudahkan pergerakan transportasi barang dan orang antarprovinsi. (AIN)