Butuh PAW dan Diskresi Terukur untuk Pulihkan Legislasi Malang
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pergantian antarwaktu dan diskresi terukur mendesak untuk dilakukan guna menyikapi kekosongan legislasi di Kota Malang, Jawa Timur, sebagai dampak penahanan terhadap 41 anggota DPRD setempat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus dugaan suap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan Tahun 2015.
Hal itu mengemuka dalam Dialog ”Mencari Solusi atas Kekosongan Lembaga Legislatif di DPRD Kota Malang”, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Rabu (5/9/2018). Hadir sebagai narasumber Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Brawijaya Sudarsono; pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya, Eko Widiarto; serta pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Sulardi.
Menurut Aan, ada syarat yang dibutuhkan untuk pergantian antarwaktu (PAW), yakni pengunduran diri dari anggota DPRD yang menjadi tersangka. Bukan atas dasar diberhentikan oleh partai politik. Begitu yang bersangkutan mengundurkan diri, partai akan langsung memproses dan PAW bisa segera turun.
”Jika dari pengunduran diri, proses PAW bisa lebih cepat karena tidak menimbulkan gugatan di mahkamah partai. Kalau diberhentikan oleh partai, dia (anggota yang jadi tersangka) bisa melapor ke mahkamah partai. Waktunya akan lebih panjang,” ujarnya.
Sejalan dengan proses PAW, upaya diskresi juga harus dilakukan. Namun, diskresi yang dimaksud, kata Aan, tidak seperti yang diungkapkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo beberapa hari lalu bahwa semuanya diserahkan kepada kepala daerah, tetapi diskresi yang terukur.
Aan mencontohkan, pelaksana tugas (plt) wali kota yang sebenarnya tidak boleh mengajukan PAW didiskresi menjadi boleh. Begitu pula mengenai kuorum pembahasan peraturan daerah, tidak harus menunggu jumlah anggota DPRD 45 orang terpenuhi semua. Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dimungkinkan kuorum lima orang yang masih tersisa kecuali untuk pembahasan APBD.
Pusat sendiri, lanjut Aan, harus mendorong gubernur selaku pejabat pusat di daerah untuk mengasisteni penyelenggaraan pemerintahan Kota Malang. Plt Wali Kota Malang harus didukung terus untuk bisa menyelenggarakan pemerintahan.
”Plt wali kota harus diperkuat untuk melakukan diskresi-diskresi agar tidak terjadi kesalahan. Asistensi gubernur harus melekat kepada wali kota,” ucapnya.
Adapun Sudarsono berpendapat, dalam PAW, spirit semua pihak harus didorong untuk perbaikan Kota Malang. Mereka harus diingatkan tentang tanggung jawab moral, baik para tersangka maupun partai politik yang ada, mengenai pengabdian mereka kepada masyarakat.
”Masing-masing punya tanggung jawab moral besar. Jadi, PAW bukan hal yang ditabukan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat, untuk bagaimana memperbaiki Kota Malang,” ujarnya.
Sementara itu, Sulardi mengatakan, budaya masyarakat kita saat ini memberikan peluang bagi terwujudnya tindakan korupsi. Ia mencontohkan bagaimana pedagang atau penyedia jasa bisa memanipulasi harga di nota pembayaran sesuai keinginan pembeli. Kondisi ini diperparah dengan sikap hedonisme masyarakat.
”Kita dihormati karena punya apa. Ini yang menjadikan orang berlomba memiliki sesuatu. Akhirnya dengan berbagai cara, mereka berusaha memiliki barang itu. Orang tidak lagi punya malu untuk korupsi. Masyarakat masih memandang koruptor secara terhormat dengan memanggil ’beliau’, termasuk pers,” tuturnya.