MEDAN, KOMPAS - Pengembangan industri sawit harus dilakukan dengan peningkatan produktivitas lahan dan nilai tambah produk. Pengembangan industri sawit dengan ekspansi lahan besar-besaran dinilai tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan tidak menjawab permintaan pasar.
”Penerapan prinsip berkelanjutan dalam industri kelapa sawit penting bukan semata-mata karena pasar, melainkan juga karena akan memberikan jaminan keberlangsungan usaha, baik di lokal maupun nasional,” kata Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagement Sinarmas Agribusiness and Food Agus Purnomo, di pabrik oleokimia PT Soci Mas, Medan, Sumatera Utara, Rabu (5/9/2018).
Agus menyampaikan hal tersebut saat menerima kunjungan para pembeli produk Sinarmas Agribusiness and Food dari berbagai negara. Para pembeli itu berkunjung untuk melihat proses produksi produk dan sejauh mana prinsip berkelanjutan diterapkan.
Agus mengatakan, Sinarmas Agribusiness and Food terus melakukan penelitian dan pengembangan guna meningkatkan produktivitas lahan sawit mereka.
Sinarmas sendiri, kata Agus, kini mempunyai 500.000 hektar lahan perkebunan sawit di Indonesia dengan produksi 2,75 juta ton CPO (minyak kelapa sawit mentah) per tahun. Jumlah lahan tersebut mencakup 4 persen dari luas perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 12 juta hektar.
Untuk meningkatkan produksi sawit mereka, lanjut Agus, Sinarmas antara lain melakukan penelitian dan pengembangan bibit unggul untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Tahun lalu, Sinarmas mulai menggunakan bibit unggul sawit dengan produktivitas yang lebih baik.
Dengan bibit baru itu, produktivitas kebun sawit mencapai 10-12 ton CPO per hektar per tahun. Pemakaian bibit itu bisa meningkatkan produktivitas kebun dua kali lipat dari produktivitas bibit sebelumnya yang hanya sekitar 6 ton CPO per hektar per tahun.
Agus mengatakan, produksi kebun sawit secara nasional masih memiliki potensi yang sangat besar untuk ditingkatkan dengan cara meningkatkan produktivitas kebun sawit. Kebun sawit petani sendiri saat ini produktivitasnya rata-rata hanya 2-3 ton CPO per hektar per tahun. Padahal, kata Agus, lebih dari 40 persen kebun sawit Indonesia merupakan milik petani.
Agus mengatakan, tantangan industri sawit ke depan akan semakin berat karena industri ini menghadapi kampanye hitam dari negara penghasil minyak nabati lainnya. Industri sawit dalam negeri harus menjawab tantangan ini antara lain dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Agus mengatakan, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menjawab permintaan pasar adalah dengan memenuhi sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Pada 2017, sebanyak 7 juta ton dari total 41 juta ton CPO Indonesia yang sudah bersertifikasi RSPO. Jumlah ini, menurut Agus, masih akan terus bertambah karena penerapan prinsip berkelanjutan semakin luas di Indonesia.
Selain dengan peningkatan produktivitas, kata Agus, peningkatan nilai tambah produk juga menjadi salah satu jalan untuk mengembangkan industri sawit dalam negeri. Produk Sinarmas sendiri, kata Agus, sebanyak 88 persen merupakan produk olahan CPO. Salah satu produk utama mereka dalam industri sawit adalah oleokimia.
Manajer Human Resources and General Affairs PT Soci Mas Sunaryo mengatakan, PT Soci Mas sendiri kini mempunyai pabrik di Medan yang menghasilkan 240.000 ton produk oleokimia per tahun. Sebanyak 75 persen di antaranya diekspor, sementara sisanya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. (NSA)