Vaksin Antirabies Habis
Kesadaran selalu datang terlambat. Itu yang terjadi di Sikka saat ini. Warga pun panik setelah adanya korban tewas akibat rabies. Mereka pun spontan meminta diberi vaksin antirabies.
MAUMERE, KOMPAS Stok vaksin antirabies untuk manusia di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, habis. Kondisi itu dipicu peningkatan permintaan masyarakat untuk dilakukan vaksin tersebut setelah adanya korban meninggal akibat digigit anjing rabies pada pekan lalu.
”Posisi terakhir pada Senin (3/9/2018), stok vaksin tersedia 60 vial. Namun, dalam waktu dua hari saja, stok itu habis. Ini terjadi setelah meninggalnya korban rabies di Desa Baumekot. Kejadian itu membuat banyak warga panik. Mereka yang pernah digigit anjing langsung meminta disuntik vaksin antirabies,” kata Kepala Puskesmas Beru, Santy F Delang, di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Rabu (5/9).
Puskesmas Beru merupakan satu dari lima pusat penanganan rabies di Sikka. Empat puskesmas lainnya adalah Puskesmas Palue, Puskesmas Bola, Puskesmas Lekebai, dan Puskesmas Watubain.
Puskesmas Beru yang berada di pusat kota Maumere itu paling banyak menerima pasien tergigit anjing.
Puskesmas Beru juga jadi tempat rujukan dari RSUD TC Hillers Maumere, terkait rabies.
Selama Januari-Juli 2018 terjadi 750 kasus gigitan anjing di Sikka dan satu korban telah tewas, pekan lalu.
Korban digigit anjing pada Mei 2018, tetapi baru dibawa ke dokter dalam kondisi parah akhir Agustus 2018. Setelah kematian itu, datanglah 13 warga Baumekot lainnya pada 3 September 2018 minta mendapat VAR karena digigit anjing yang sama dengan korban tewas.
Santy mengatakan, pihaknya sudah mengajukan permintaan vaksin antirabies (VAR) ke Dinas Kesehatan Sikka dan diharapkan tersedia secepatnya. Alasannya, banyak pasien membutuhkan VAR lengkap yang harus diberi vaksin dalam tiga tahap, yaitu dua dosis (vial) di hari pertama, lalu hari ketujuh, dan pemberian ketiga satu dosis pada hari ke-21.
”Jangan sampai pasien yang membutuhkan pemberian VAR tahap kedua tertunda karena barangnya tidak ada. Hari ini pun (Rabu) kami tak bisa memberikan VAR bagi warga yang membutuhkan vaksin,” ujar Santy.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Sikka Harlin Hutauruk mengakui kondisi itu. ”Kami sudah mengajukan ke Dinas Kesehatan NTT agar segera dipasok lagi. Kami mendapat informasi akan diupayakan mendapat 1.000 vial,” tutur Harlin.
Sehari sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengaku mengalokasikan 17.500 vial VAR untuk masyarakat di NTT. Jumlah itu dinilai cukup hingga April dan Mei 2019. Kemenkes menunggu pengambilan dari Dinkes NTT (Kompas, 5/9).
Kabar rabies yang merenggut nyawa juga membuat warga meminta anjing peliharaannya divaksin.
”Biasanya warga sangat sulit diajak memvaksin anjing peliharaannya. Ada saja alasannya. Namun, dengan adanya warga yang meninggal karena rabies, banyak warga yang proaktif,” kata petugas kesehatan hewan Dinas Pertanian Sikka, Maria Evi. Kemarin, dia melakukan vaksin 50 anjing di Desa Watugong, Kecamatan Alok Timur.
Sekretaris Komite Anti-Rabies Flores Lembata Asep Purnama menuturkan, tewasnya warga akibat rabies menjadi momentum penting bagi Pemkab Sikka untuk menyosialisasikan penanggulangan rabies ke masyarakat.
”Sosialisasi punya dua tujuan penting, yakni supaya vaksinasi pada anjing berjalan efektif guna memutus penyebaran virus rabies dan menyadarkan masyarakat untuk bisa mencegah kematian akibat rabies,” ucap Asep.
Selama Januari-Juli 2018, menurut Asep, terdapat 5.000 kasus gigitan anjing, dengan delapan orang tewas, yang terjadi di Kabupaten Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, dan Lembata.
Di Jakarta, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fadjar Sumping Tjatur Rasa menegaskan, estimasi populasi hewan penular rabies (HPR) yang dimiliki daerah harus disertai pemetaan risiko. Peta risiko daerah dengan populasi anjing yang banyak, tetapi tersebar dan kasus gigitannya sedikit tentu akan berbeda dengan daerah dengan populasi anjing sedikit, tetapi terkonsentrasi dan kasus gigitannya banyak.
Data estimasi populasi berikut peta sebaran dan tingkat risikonya akan memudahkan saat program vaksinasi dilakukan. ”Anjing adalah hewan yang banyak menggunakan mulut sehingga, kalau kasus gigitan banyak, wajar. Namun, tidak semua gigitan adalah rabies,” katanya.
Tjatur berharap daerah punya perencanaan program vaksinasi yang baik. Beberapa komponen yang perlu disiapkan selain data populasi HPR adalah tersedianya tenaga vaksinator, tenaga penangkap anjing, dan fasilitas penyimpanan vaksin yang baik dengan kapasitas yang cukup, juga dukungan dana. (SEM/ADH)