LANGKAT, KOMPAS Program perhutanan sosial mulai dijalankan di 1.200 hektar zona rehabilitasi Taman Nasional Gunung Leuser di Desa Pir ADB, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang sebelumnya terus berkonflik. Melalui program tersebut, masyarakat diberi izin mengelola kawasan di dalam kawasan taman nasional, tetapi harus menanam tanaman hutan dan tidak memperluas lahan.
Pelaksanaan program perhutanan sosial di Desa Pir ADB dimulai dengan penebangan 220 batang tanaman sawit di lahan seluas 1,5 hektar di Desa Pir ADB milik Sudaryono, warga desa penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kamis (6/9/2018). Warga dan petugas tampak menebang sawit yang sudah berusia empat tahun itu. Tanaman durian dan petai setinggi sekitar 0,5 meter tampak sudah mulai tumbuh di sana.
”Sekarang kami sudah tenang karena tidak ada konflik lagi.
Sebelumnya, setiap ada orang baru yang datang, kami selalu waswas dan curiga,” kata Sudaryono.
Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera Edward Sembiring mengatakan, pada tahap awal ini, baru 11 kelompok yang terdiri dari sekitar 500 keluarga yang ikut program perhutanan sosial. Mereka selama ini menduduki 1.200 hektar lahan TNGL.
Sementara itu, secara total, ada sekitar 6.700 hektar kawasan TNGL yang sudah lebih dari 25 tahun diduduki warga. Sebagian besar kawasan tersebut ditanami sawit. Sebanyak 5.500 hektar di antaranya hingga kini belum bisa ikut program perhutanan sosial karena masyarakat menganggap kawasan itu bukan wilayah TNGL.
Akan tetapi, solusi perhutanan sosial belum bisa diterapkan di Riau. Sejak tahun 2015, semasa Gubernur Riau dijabat oleh Arsyadjuliandi Rachman, tidak ada perhutanan sosial yang direkomendasikan Pemerintah Provinsi Riau kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar warga diberi izin mengelola hutan.
”Sejak 2015, kami sudah meminta gubernur agar memberikan rekomendasi izin kelola hutan dengan skema perhutanan sosial (PS). Luasnya mencapai 100.000 hektar. Namun, tidak satu pun direkomendasikan oleh gubernur. Padahal, terdapat potensi perhutanan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan warga dari lahan seluas 1,4 juta hektar,” kata Herbet dari Yayasan Mitra Insani, organisasi pendamping masyarakat yang mengelola beberapa hutan desa di Pekanbaru.
Herbet mengakui, potensi hutan sosial seluas 1,4 juta hektar yang tidak dibebani izin tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan. Sebagian besar kawasan tumpang tindih dengan perkebunan, hutan tanaman industri, dan berbagai peruntukan lain.
Sementara itu, mengenai konflik agraria di Kalimantan Tengah, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati, paralegal komunitas dinilai masih efektif memberikan akses keadilan dalam konflik agraria. Meskipun wewenang memberikan bantuan hukum ditolak Mahkamah Agung, hal itu tidak berpengaruh dalam proses pemulihan hak masyarakat dalam sengketa. (NSA/SAH/IDO)