Jalur Tenun di Tanah Marapu
Pada musim kemarau, sejauh mata memandang adalah rumput kuning emas di gundukan bukit-bukit Sumba dari timur ke barat.
Kerbau, sapi, kuda, dan kambing terserak di datarannya. Sesekali ada pohon bertahan dengan beberapa daun hijau. Lainnya tinggal cabang, seperti cakar setelah daun luruh kekurangan air.
Sumba menjadi banyak perbincangan di kalangan perapah dalam dan luar negeri setelah keindahan dan kekayaan budayanya menyeruak ke luar. Ada Nihi Watu, resor di Sumba Barat, yang disebut sebagai salah satu terbaik di dunia. Lalu perancang busana Biyan Wanaatmadja mengangkat kain tenun Sumba dengan kekayaan coraknya dalam rancangan busana, bekerja sama dengan Bank Indonesia.
Keindahan Sumba berbeda dengan banyak daerah lain di Indonesia, bahkan dengan pulau-pulau lain di Nusa Tenggara Timur. Sabana menjadi lanskap dominan di pulau yang panjangnya hanya 210 kilometer dari timur ke barat dan lebar 50 kilometer saja dari utara ke selatan. Pasir pantainya putih lembut, laut biru lazuardi bertemu dengan biru gelap, dan langit biru membentuk kontras surealis.
Jalan mulus mengantar dari Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, ke Waitabula, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya. Sepanjang jalan hanya sesekali berpapasan kendaraan roda empat. Lebih sering bertemu ternak kerbau, sapi, kuda, atau kambing di padang rumput menguning daripada berjumpa penduduk. Penduduk Sumba memang hanya 800.000-an jiwa.
Saat berpapasan dengan anak-anak berseragam putih-merah dalam perjalanan Kamis-Jumat siang pekan lalu, sebagian mereka berjalan tanpa alas kaki. Lewat tengah hari, beberapa kali berpapasan dengan anak perempuan dan laki-laki membawa jeriken berisi air. Musim kering memaksa mereka berjalan jauh demi mendapat air bersih untuk minum dan masak.
Cerita kain
Alam yang masih asli, kasar, terasa mistis sepanjang perjalanan dari timur ke barat, membentuk jiwa orang Sumba. Adat dan kepercayaan Marapu membuat Sumba unik.
Kepercayaan Marapu, demikian Pastor Robert Ramone, CSsR, anggota Kongregasi Imam-imam Redemptoris yang mengelola Rumah Budaya Sumba, bersifat animistis, mengajarkan keseimbangan hidup manusia dan alam semesta dan di dalamnya manusia mencapai kebahagiaan yang dirindukan.
Semua tertuang di atas kain tenun ikat lungsi Sumba.
Kain tenun adalah kehidupan itu sendiri. Di coraknya ada cerita kehidupan, mulai dari asal-usul manusia, lahir, menjadi dewasa, hingga kematian. Begitu pentingnya peran kain, ketika seseorang berpulang, jasadnya harus ditutup tenun. Makin tinggi kedudukan yang meninggal, makin banyak kain dibungkuskan pada jasad.
Menenun menjadi pekerjaan perempuan dengan tujuan awal membuat kain untuk suami sebagai tanda hormat dan cinta. Kain itu akan dibawa hingga meninggal, dipakai menutup jenazah. Perempuan juga menenun untuk diri sendiri sejak memasuki usia akil balig dengan pengetahuan yang dia terima dari ibu dan nenek-neneknya. Saat menikah, kain itu dibawa ke rumah suami dan kelak diwariskan kepada anak-anaknya.
”Corak kain menggambarkan karakter pemakai,” ungkap pegiat tenun Sumba, Umbu Ignatius Hapu Karanjawa.
Corak kuda, ayam, burung kakaktua, rusa, dan buaya menggambarkan kepemimpinan. Seekor ayam jantan, misalnya, memimpin 10 ekor ayam betina. Seorang raja Sumba disebut ana wuya rara, buaya yang ditakuti. Istri raja disebut ana kara wulang, yaitu kura-kura sebagai pasangan buaya. Ketika terbalik, kura-kura membutuhkan bantuan pihak lain untuk membalikkan.
Kedua corak itu menyimbolkan raja dan permaisuri harus melindungi, sabar, dan mengingat rakyatnya.
Umumnya perempuan Sumba menenun sebagai sambilan setelah mengurus rumah, anak, suami, dan ternak. Bagi Ny Karyawati Liwar (47) dari Kampung Prailiu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur, menenun adalah meneruskan sejarah leluhur, baik makna di balik corak maupun teknik pembuatan.
”Di kain ada cerita dari setiap gambar,” ujar Karyawati dalam pameran di Rumah Budaya Sumba di Langgalero, Sumba Barat Daya, Rabu (29/8/2018) siang. Corak baru bisa hadir, tetapi yang tak pernah berubah adalah ayam, kuda, buaya, kura- kura, patola ratu, dan papanggang untuk penguburan raja.
Jalur tenun
Ketika tenun Sumba semakin populer, mulai muncul kesadaran tetap menjaga makna awal kehadiran kain. Meski para ibu menenun untuk tujuan ekonomi, nilai budaya dan makna filosofis kain tidak boleh luntur dan tetap terwariskan.
Pastor Robert Ramone, CSsR, sebagai sumber pengetahuan tentang Sumba, selama belasan tahun mengupayakan revitalisasi rumah-rumah adat Sumba.
Sejak tiga tahun lalu, dia bekerja sama dengan Yayasan Rumah Asuh yang diketuai arsitek Yori Anta, juga membangun rumah tenun. Dana pembangunan berasal dari individu atau lembaga. ”Dana kami salurkan langsung ke masyarakat, kami mengawasi pembangunannya,” kata Pastor Robert.
Salah satu rumah tenun sekaligus museum kain Sumba, Atma Hondu, berada di kompleks Rumah Budaya Sumba di Langgalero, Waitabula, Sumba Barat Daya. Rumah itu diresmikan Rabu (29/8) oleh perancang busana Biyan Wanaatmadja bersama Pastor Robert.
Selain itu, juga diresmikan rumah tenun Atma La Kanatang di Kampung Kanatang, Sumba Timur, Kamis (30/8). Kampung ini dikenal dengan pewarnaan biru yang berasal dari daun nila. Dana pembangunan berasal dari para donatur yang menghadiri pergelaran busana Biyan beberapa tahun terakhir.
”Kenapa membangun rumah tenun, karena di tengah kemajuan teknologi digital yang semuanya serba mesin dan maya, orang akan merindukan segala sesuatu yang bersentuhan dengan tangan, emosi manusia,” tutur Biyan yang rancangannya terdapat di toko premium di kota-kota mode Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.
”Lagi pula, hanya ada satu Sumba di dunia,” katanya.
Melalui rumah tenun, Yori Antar ingin ekonomi perempuan terangkat sehingga posisinya semakin terhormat di masyarakat patriarkat tersebut.
Sumba memiliki alam yang indah, tetapi seperti disebut Pastor Robert, kehidupan masyarakatnya tidak seindah alamnya. Kemiskinan masih menjadi bagian melekat rakyat.
Delapan rumah tenun akan selesai 2019, yaitu Museum Kain Tenun Sumba Atma Hondu di Waitabula, Sumba Barat Daya; lainnya ada di Sumba Timur, yaitu Hammu Hori di Haumara; Atma La Kanatang di Kanatang; Kaliuda; Paraikamaru; Pau; Kela Hemba; Palimaru; dan Rumah Anyam Mbata Kapidu.
”Kedelapan rumah tenun ini akan menjadi Jalur Tenun Sumba untuk menarik wisatawan tinggal lebih lama di Sumba sehingga ekonomi masyarakat ikut naik,” kata Yori.