Aturan yang dipegang teguh masyarakat adat di sekitar hutan selaras dengan aturan formal. Karena itu, mereka diajak terlibat dalam pengelolaan agar hutan lestari.
JAMBI, KOMPAS - Para pemangku kawasan hutan diminta melibatkan aturan adat dalam skema pelestarian hutan. Masyarakat adat bisa turut menjaga kawasan dari berbagai ancaman aktivitas liar sekaligus menuai manfaat sejahtera dari hutan lestari.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno menilai, pegangan hidup dan aturan adat masyarakat tradisional sejalan dengan semangat negara melestarikan hutan. Komunitas adat Orang Rimba di Jambi, misalnya, telah mengatur zonasi kawasan jauh sebelum hutan itu ditetapkan sebagai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
Oleh karena itu, aturan adat dapat diselaraskan dengan aturan formal. ”Pengelola taman nasional dan komunitas adat agar duduk bersama mengatur hutan,” katanya di Jambi, Sabtu (8/9/2018). Hal serupa, ujarnya, berlaku pula pada kawasan lain yang didiami suku-suku pedalaman, seperti Talang Mamak, Bathin IX, Dayak, dan Gayo.
Pengelola taman nasional dan komunitas adat agar duduk bersama mengatur hutan.
Pengelolaan kawasan, kata Wiratno, harus menempatkan masyarakat sebagai subyek serta menghormati hak asasi manusia, nilai budaya, dan adat. Belum optimalnya upaya itu sering kali menimbulkan konflik.
Hal serupa terjadi dalam kawasan hutan tanaman industri ataupun perkebunan. Para pemegang konsesi harus mampu berbagi ruang kelola dengan masyarakat dalam konteks upaya pelestarian ekosistem, bukan eksploitasi.
Waspadai spekulan
Pihaknya mendata, ada 26.800 desa yang tersebar di sekitar hutan. Jika masyarakat di desa-desa penyangga itu dilibatkan dalam pengelolaan, hutan akan lestari seiring dengan kesejahteraan masyarakat. Namun, ia menegaskan bahwa pemanfaatan hutan berbasis perhutanan sosial tidak boleh dimasuki para spekulan tanah. Para pemangku wilayah perlu mewaspadai fenomena pengorganisasian warga untuk merambah hutan. Hal itu harus dicegah.
Kepala Balai TNBD Haidir mengatakan, pihaknya sudah mulai merangkul komunitas Orang Rimba dan memetakan bersama zonasi taman nasional itu. Hasil pemetaan awal menunjukkan sejumlah keselarasan antara aturan adat dan aturan formal. Orang Rimba, misalnya, melarang penebangan pohon di sepanjang jalur tebing hutan yang disebut Tali Bukit. Daerah yang disebut sebagai zona rimba itu ternyata masuk ke dalam zona inti TNBD. Sementara area hutan yang dipenuhi buah-buahan atau disebut benuaron ternyata masuk ke dalam zona pemanfaatan TNBD.
”Artinya, aturan adat dan formal selaras, tidak saling bertentangan,” kata Haidir.
Hasil pendataan bersama Badan Pusat Statistik dan Balai TNBD, Orang Rimba di dalam kawasan TNBD berjumlah 2.960 orang pada 2018. Jumlah ini naik dibandingkan sensus tahun 2013 yang mendata 1.775 orang.
Koordinator Program Pemberdayaan Masyarakat dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Robert Aritonang, mengatakan, pilihan kelompok yang ingin bertahan dengan cara hidup tradisional di dalam hutan harus tetap dihormati. Sebagian dari mereka mulai beradaptasi dengan perubahan. Tak semata mengandalkan sumber daya yang tersedia, seperti rotan dan getah manau, mereka mulai membudidayakan karet secara sederhana. Perubahan pola pencarian itu, katanya, semestinya dihargai dan didukung pemerintah.
Salah seorang pemimpin Orang Rimba dari kelompok Kedudung Muda, Tumenggung Nggrip, berharap ada keseriusan membantu kesejahteraan Orang Rimba. Kelompok itu, misalnya, membutuhkan jalan setapak untuk mengangkut ke luar hasil panen getah dan buah-buahan. (ITA)