Museum ”Virtual Reality” Gedung Sate
Bandung memiliki museum yang kekinian, melibatkan virtual reality dan augmented reality. Di Museum Gedung Sate, pengunjung bisa ”mengelilingi” Gedung Sate dengan ”balon udara” atau ikut ”membangun” gedung. Ini jadi cara menyenangkan untuk belajar sejarah.
Seandainya Gedung Sate di Kota Bandung terbangun seluruhnya, barangkali keindahannya bisa bersaing dengan Mausoleum Taj Mahal di Agra, India. Sayangnya, Pemerintah Hindia Belanda hanya membangun kompleks gedung pertama seluas 2,7 hektar tahun 1924 akibat kesulitan keuangan.
Namun, denah atau maket arsitektur kompleks Gedung Sate secara keseluruhan seluas 27 hektar bisa dilihat dari ”balon udara” pada ruang virtual reality di Museum Gedung Sate. Pengunjung bisa menikmati keindahan kompleks gedung Gouvernements Bedrijven ini, terutama yang mengarah langsung ke Gunung Tangkubanparahu.
HP Berlage, arsitek Belanda, menyatakan, karya besar Gedung Sate merupakan paduan yang harmonis gaya arsitektur timur dan barat. Gedung yang kini menjadi pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat ini menampilkan keragaman budaya dari banyak daerah.
Fondasi gedung menggunakan batuan andesit seperti yang digunakan di candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ornamen pilar dan relung-relung bergaya Eropa terdapat di seluruh bagian gedung. Atapnya menggunakan sirap khas Nusantara yang dipadukan dengan konstruksi kerangka baja. Kompleks gedung ini merupakan bangunan besar pertama di Hindia Belanda yang menggunakan teknologi kerangka baja.
Agar alami, pencahayaan lantai dasar menggunakan kaca prisma yang dipasang pada langit-langit ruangan. Tujuannya, agar bias sinar matahari masuk dalam bentuk berkas-berkas cahaya yang indah. Informasi ini bisa diperoleh pengunjung melalui film pendek di ruang audiovisual di museum.
Ruang virtual reality dan audiovisual hanya sebagian dari ruang-ruang inovasi yang disediakan Museum Gedung Sate. Edukator museum Pepen S Sasmita, Rabu (29/8/2018), menjelaskan, inovasi museum ini membahas soal arsitektur Gedung Sate sebagai gedung terindah di dunia berikut sejarah yang menyertainya.
Walaupun bertemakan sejarah, pengunjung akan merasakan sensasi teknologi digital yang interaktif saat menggali informasi dari museum. Teknologi seperti layar sentuh yang menyajikan informasi melalui grafis menarik menjadi daya tarik atraksi Museum Gedung Sate.
Futuristik
Museum Gedung Sate dibangun oleh Gubernur Jawa Barat periode 2013-2018 Ahmad Heryawan dan Wakil Gubernur Deddy Mizwar.
Keduanya meresmikan gedung yang menelan biaya Rp 11,5 miliar tersebut pada awal Desember 2017. Inovasi Museum Gedung Sate menyajikan tema sejarah yang dikemas dalam sensasi teknologi digital dan interaktif.
Pengunjung, misalnya, dapat mencoba kacamata virtual reality yang membuat pengunjung seolah-olah menaiki balon udara mengelilingi area sekitar Gedung Sate. Ada juga ruangan yang membuat pengunjung seolah-olah terlibat pada pengerjaan Gedung Sate dengan teknologi augmented reality.
Beberapa displai yang mengupas desain pilar, kusen, tangga, hingga ke sudut-sudut eksterior dan interior Gedung Sate juga tersedia. Bahkan ada tembok yang sengaja dikelupas untuk mengetahui struktur dan material penyusunnya.
Pada umumnya pengunjung kagum terhadap inovasi museum Gedung Sate. Pernah ada rombongan tamu dari sebuah instansi yang merasa takjub karena tidak ada bata dalam konstruksi Gedung Sate. Yang ada hanya batu dan pasir.
”Begini, ya, ternyata. Meski hanya batu dan pasir, kalau kerjanya bener, nggak dikorupsi, bisa bertahan, tuh, sampai selama ini,” kata Hary Juliman, tour conductor museum, menirukan komentar pengunjung.
Sejak diresmikan awal Desember 2017, Museum Gedung Sate diminati pengunjung, terutama pelajar dan mahasiswa. Dalam seminggu setelah peresmiannya, Museum Gedung Sate tercatat telah dikunjungi lebih dari 3.600 orang. Pengunjung datang dari berbagai latar belakang dan rentang usia.
Museum seluas 500 meter persegi ini mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat. Museum yang terletak di sayap timur lantai bawah tanah Gedung Sate ini pernah mencatat rekor kunjungan 1.200 orang dalam satu hari.
”Komentar dari mereka juga tak terduga karena museum ini dianggap memberikan nuansa yang berbeda. Mereka heran sekaligus takjub akan kebersihan, kenyamanan, kecanggihan teknologi yang memberikan informasi walaupun dengan ruangan yang hanya 500 meter persegi,” tutur Hary.
Yang sangat menyukai ruang audiovisual dan augmented reality terutama adalah anak-anak kecil.
Bahkan, beberapa anak terpaksa harus ditarik orangtuanya ke luar karena mereka terlalu terlibat dengan visualisasi. Ini di luar dugaan karena awalnya museum ini tidak didesain untuk ramah anak.
Terus berinovasi
Pengelola museum yang bernaung di bagian Humas Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar tersebut terus berinovasi untuk menarik pengunjung. Pada hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2018, misalnya, museum mengundang pengunjung melalui acara The Amazing Race at Museum Gedung Sate. Kreativitas ini melibatkan anak-anak usia sekolah dasar untuk berkompetisi di area Gedung Sate.
Lewat kompetisi ini, menurut Kepala Bagian Publikasi Humas Pemprov Jabar Azis Zulficar, Pemprov ingin generasi muda mendapatkan pengetahuan dengan cara yang menyenangkan mengenai sejarah.
”Gedung Sate adalah bagian dari sejarah republik ini. Jadi, tepat rasanya kita memasifkan informasi mengenai Gedung Sate melalui cara yang berbeda, yaitu dengan kompetisi,” ujar Azis di Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (17/8).
Berada di Gedung Sate pada 17 Agustus lalu serasa sedang memasuki mesin waktu di era 1945. Para pelaku sejarah pejuang kemerdekaan dan prajurit berseragam Belanda dan Jepang terlihat hilir mudik. Bedanya, mereka tidak sedang berperang, malah asyik bersenda gurau. Ini adalah ajang unjuk kreativitas dalam permainan kostum (costume play/cosplay).
Cosplay ini masih dalam rangkaian The Amazing Race at Museum Gedung Sate. Tujuannya, membangun suasana perjuangan tempo doeloe. Sejumlah komunitas berpartisipasi, seperti Komunitas Jeep Militer, sepeda ontel, Purna Prakarya Muda Indonesia, Kofaba, Komunitas Forum Bandung Teritori 1945, dan food truck.
Erik (38) dari Komunitas Jeep Militer Bandung berharap acara semacam ini dapat membuat anak-anak tertarik belajar sejarah. Menurut dia, acara ini sangat mengedukasi, terutama bagi anak-anak kecil.
”Dengan adanya mobil-mobil (eks) militer ini, mereka bisa langsung belajar sejarah. Bisa dibilang ini museum berjalan. Dengan begini, mudah-mudahan rasa patriotisme anak-anak bisa (tumbuh) lebih tinggi,” katanya.