Pesan yang Tak Pernah Didengar oleh Anggota Dewan
Kembang turi sedhompol isine siji/Ngati-ati dadi pejabat saiki/Ja nindhakke korupsi sarta kolusi/Yen konangan wekasane mlebu bui… (Bunga turi seikat isinya satu/Hati-hati jadi pejabat sekarang/Jangan korupsi dan kolusi/Kalau ketahuan bisa masuk bui)
Potongan tembang laras pangkur pelog tersebut dilantunkan belasan pengrawit (pemain karawitan) dan sinden dari Paguyuban Karawitan Tembang Tari PWRI, Selasa (4/9/2018) sekitar pukul 15.30 WIB. Belasan pemain karawitan berusia 60-hingga 70-an tahun tersebut melantunkan dengan pelan. Mereka sangat menikmati setiap kata berbalut lantunan suara bonang, saron, gong, dan kendang yang mereka ciptakan.
Aktivitas itu rupanya sudah berlangsung sejak lama. Komposisi itu disiapkan mereka untuk merayakan HUT ke-56 PWRI pada 29 September mendatang di Gedung DPRD Kota Malang. Minimal, seminggu sekali, mereka melantunkan tembang Jawa tersebut hingga senja menjelang.
Tanpa diduga, pesan dari tembang Jawa tersebut sangat pas dengan situasi di Gedung DPRD Kota Malang pekan ini. Saat itu, 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Kota Malang Tahun 2015.
Pesan tembang itu sangat jelas. Jangan korupsi. Namun, penghuni gedung dewan saat itu justru ditahan karena korupsi. Mungkin mereka tidak pernah mendengarkan atau menganggap tembang dari orang-orang sepuh bermanfaat untuk hidup mereka.
Padahal, anggota kelompok karawitan itu hanya menumpang latihan di sana. Mereka memanfaatkan gamelan milik DPRD Kota Malang yang tidak terpakai.
”Tembang ini tidak ada hubungannya dengan kondisi saat ini. Lagu ini sudah kami ciptakan jauh hari, untuk perayaan HUT ke-56 PWRI. Kami ini orang-orang tua hanya bisa memberikan tuladha (contoh) yang baik,” kata Niroso (65), pelatih kelompok karawitan tersebut.
Sore itu, saat lantunan tembang menggema di seisi ruangan, hanya ruang-ruang kosong serta belasan wartawan yang mendengarkan. Sisa 5 anggota dewan yang tidak ditahan KPK sudah pulang sejak siang.
Gedung DPRD Kota Malang sejak Senin, 3 September, memang melompong. Sebagian besar anggotanya ditahan KPK karena kasus suap. Kasus itu membuat Wali Kota Malang periode 2013-2018 Mochamad Anton, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawas Bangunan (DPUPPB) Jarot Edy Sulistyo, kontraktor Hendrawan Maruszaman, dan 41 anggota dewan dijebloskan ke dalam bui. Kota Malang pun terbelenggu ”Skandal Tugu”.
Skandal Tugu di sini merujuk pada kasus suap berjemaah antara pejabat Pemerintah Kota Malang (eksekutif) dan wakil rakyat di Gedung DPRD Kota Malang (legislatif). Kedua gedung tersebut berdiri bersebelahan, tepatnya di Jalan Tugu (depan Alun-alun Bundaran Tugu).
Untuk memuluskan pembahasan APBD-P 2015, DPRD Kota Malang meminta uang ”pokok pikiran”, atau disingkat pokir, kepada Pemkot Malang. Oleh karena terkait beberapa proyek, di sini pihak swasta (kontraktor) pun terlibat.
Ditengarai, Wali Kota Malang dan kawan-kawannya (termasuk kontraktor) memberikan uang Rp 700 juta kepada Ketua DPRD Kota Malang untuk memuluskan pembahasan APBD-P 2015. Uang tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada anggota dewan lainnya. Setelah dibagi-bagikan, nilai suap untuk setiap dewan hitungannya tidak banyak, yaitu Rp 12,5 juta-Rp 50 juta per orang.
Kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Pemkot Malang dan DPRD Kota Malang mencuat saat tim KPK datang ke Kota Malang pada Agustus 2017. Mereka datang untuk menggeledah kantor dan mencari barang bukti di lingkup Pemkot Malang dan DPRD Kota Malang.
Tidak lama, KPK mulai menggulung satu per satu para pelaku suap secara bergelombang. Gelombang pertama, pada akhir 2017, KPK menetapkan tiga tersangka (sekaligus menahan), yaitu Kepala Dinas DPUPPB Jarot Edy Sulistyono, Ketua DPRD Kota Malang M Arief Wicaksono, dan pihak kontraktor Hendrawan Maruszaman. Ketiganya saat ini menjalani vonis penjara selama 3-5 tahun.
Gelombang kedua, pada Maret 2018, KPK menetapkan Wali Kota Malang Mochamad Anton dan 18 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 menjadi tersangka. Wali Kota dan ke-18 anggota dewan pun ditahan saat itu. Mochamad Anton saat ini menjalani vonis 2 tahun 8 bulan penjara atas kasus tersebut.
Kini, September 2018, KPK kembali menetapkan 22 anggota dewan lainnya sebagai tersangka. Tersisa hanya lima anggota dewan.
Tertutup
Sebenarnya, bagaimana bisa telinga para anggota DPRD Kota Malang itu tak mendengar lantunan pesan yang diulang minimal seminggu sekali itu. Bisa jadi, anggota dewan tak mendengar karena mereka mulai terbiasa menutup mata dan telinganya dari sekitar. Kenapa? Karena selama mereka menjabat, praktis mereka menjadi tempat sampah konstituen dan banyak orang yang datang mengaku sebagai rakyat.
Budaya pragmatis masyarakat bahwa mereka bisa meminta uang kepada anggota dewan membuat dewan menjadi ATM yang tak pernah kering bagi semua kepentingan. Dampaknya, anggota dewan pun mencari lumbung uang lain. Bisa jadi, lumbung uang itu dari koleganya di eksekutif, pengusaha lokal, atau investor luar. Politik transaksional elite pun tak terhindarkan. Akhirnya, suap dan korupsi terus terjadi.
Salah satu anggota DPRD Kota Malang dari Fraksi PDI-P yang baru saja ditahan, misalnya, harus menjual mobil bak terbukanya guna memenuhi proposal sumbangan selama perayaan agustusan. Itu belum saat hari raya atau kegiatan lain. Proposal yang datang bisa setiap hari.
Model politik uang seperti itu pun bukan tanpa dasar. Sistem politik sekarang memungkinkan calon anggota dewan mengeruk suara sebanyak-banyaknya dengan modal uang. Semakin banyak uang digelontorkan, mereka berharap semakin banyak suara di tangan. Beberapa anggota DPRD Kota Malang ini rata-rata bisa menghabiskan uang Rp 1 miliar sebagai ongkos politik menjadi dewan.
Dengan semua beban menjadi ATM bagi banyak orang dan ditagih utang (untuk menutup ongkos politik), bisa jadi secara naluriah anggota dewan itu melakukan self defense atau pertahanan diri dengan menyaring bahkan menutup diri dari suara sekitar.
”Sebenarnya, kasus ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak. Partai menata dirinya dan rakyat mendukung dengan tidak lagi membiasakan politik uang sebagai budaya. Karena, harus diakui, semua persoalan korupsi ini karena bersumber dari politik uang,” tutur Ketua DPC PDI-P Kota Malang I Made Riandiana Kartika.
Politik uang antara dewan dan rakyat seakan menyemai budaya suap dan korupsi sebagai hal yang banal (biasa). Lihat saja. Dari 41 anggota DPRD Kota Malang yang terlibat kasus suap saat ini, tidak melulu karena kepentingan ekonomi. Tidak jarang di antara mereka adalah orang-orang berada, hidup di Jalan Ijen (jalan termewah di Kota Malang) atau di perumahan elite kawasan Jalan Soekarno Hatta, pengusaha kaya raya, bahkan dosen.
Apakah mereka menerima suap karena butuh uang? Saya rasa tidak. Lebih tepatnya bisa jadi karena mereka menganggap suap dan korupsi adalah hal banal.
Disfungsi
Kejahatan bisa terjadi bukan hanya karena ada niat, melainkan juga karena ada kesempatan. Niat berasal dari dalam diri pelaku (faktor internal). Hal ini tentu terkait dengan integritas personal. Apakah dia menghayati perannya sebagai wakil rakyat, yang tugas utamanya melayani rakyat, atau dia justru ingin memanfaatkan posisinya untuk mencari untung atas nama rakyat.
Dan, pada negara demokrasi tidak langsung ini, peran untuk mengasah integritas wakil rakyat menjadi tugas parpol. Hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011), bahwa tugas, fungsi, dan kewajiban parpol adalah mengembangkan kehidupan berdemokrasi, mengembangkan etika dan budaya politik, serta memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas.
Jika kemudian anggotanya memberikan contoh buruk pendidikan politik, siapa yang bisa disalahkan? Tentu saja parpol. Sebab, di sanalah asal muasal wakil rakyat. Bolehlah partai berkelit dengan mengatakan itu semua tergantung dari manusianya. Namun, bagaimana sebenarnya kaderisasi anggota di tubuh partai? Efektifkah pendidikan politik dan penanaman integritas oleh parpol? Berapa kali pendidikan politik dilakukan? Apakah ada pendampingan dan kontrol?
Pengamat politik Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari, menilai, parpol sebagai aset utama dalam sistem politik di Indonesia mengalami disfungsi. Dengan demikian, mereka gagal mendidik kader dan masyarakat dalam hidup berdemokrasi yang baik.
Pendidikan politik untuk kader dan masyarakat antara lain adalah etika berpolitik yang baik, yaitu jika melakukan kesalahan, politisi harus mau meminta maaf dan menanggung konsekuensi atas kesalahannya.
”Parpol hanya berfungsi sebagai tunggangan untuk mendapat kekuasaan. Lalu, setelah berkuasa, mereka melakukan praktik kleptokrasi berjejaring (mengeruk kekayaan negara beramai-ramai). Parpol pun tidak bisa memberikan pendidikan teknokrasi yang baik kepada kadernya, yaitu pendidikan di mana kader harus bisa berperan memberikan solusi dan gagasan baru untuk memajukan daerah atau negara,” tutur Wawan.
Padahal, menurut Wawan, parpol memiliki kuasa luar biasa. Hal itu karena Undang-Undang Dasar 1945 memberikan mandat pencalonan presiden dan DPR harus melalui parpol. Sayangnya, kekuasaan besar itu tidak termanfaatkan dengan baik.
”Sumber kekuasaan formal sebenarnya ada pada parpol. Ironisnya, saat ini, kuasa besar itu tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, justru parpol menjadi disfungsi. Kepuasan masyarakat pada parpol rendah karena parpol hanya berperan mendulang suara dan belum jadi mesin aspirasi rakyat,” lanjutnya.
Kasus korupsi massal Skandal Tugu ini sebenarnya bisa dilihat dari perspektif berbeda. Jika menganut filosofi gelas setengah penuh dan setengah kosong, situasi DPRD Kota Malang sekarang bisa dilihat sebagai peluang besar untuk mengisi kursi dewan. Mengisinya dengan darah-darah muda, baru, dan lebih berintegritas. Jadikan Skandal Tugu sebagai momentum kebangkitan Kota Malang.
Seperti halnya pelukan Jokowi-Prabowo dan pesilat Hanifan pada Asian Games lalu, yang menjadi momen menurunkan tensi seteru dua kubu serta momen kebangkitan prestasi. Bagi Kota Malang, momentum itu adalah sekarang!