PONTIANAK, KOMPAS — Masalah terus merundung komoditas karet 10 tahun terakhir, terutama karena harganya terus anjlok. Bahkan, pada saat kondisi pasar internasional membaik pun, petani tidak menikmati kesejahteraan. Maka, diperlukan komitmen pemerintah untuk memulihkan komoditas karet dari keterpurukan.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Eddy Suratman, Rabu (12/9/2018), mengatakan, ada banyak permasalahan yang merundung perkebunan karet petani di Kalimantan Barat. Untuk itu hal tersebut memerlukan berbagai penanganan. ”Namun, yang paling utama adalah komitmen pemerintah terhadap komoditas perkebunan tersebut,” kata Eddy.
Salah satu permasalahan yang memerlukan komitmen pemerintah adalah mengatasi panjangnya mata rantai perdagangan karet. Panjangnya mata rantai perdagangan karet membuat petani tidak bisa merasakan kesejahteraan karena mereka dikuasai pedagang perantara ataupun tengkulak.
”Bahkan, saat iklim bisnis di pasar internasional membaik pun yang menerima manfaat dari itu hanyalah para pengusaha. Sementara petani tidak mendapatkannya. Bahkan, saat pasar internasional dilanda masalah, petani justru yang paling merasakan dampak negatifnya. Maka, perlu komitmen dengan intervensi pemerintah,” kata Eddy.
Bahkan, nilai tukar petani juga turun, salah satunya karena imbas dari masalah pada komoditas karet selama ini. Pemerintah hendaknya memotong mata rantai perdagangan karet, misalnya dengan mendirikan badan khusus yang membeli karet petani dengan harga yang pantas. Pemerintah hendaknya menetapkan harga batas atas dan bawah.
Selain itu, perlu adanya hilirisasi karet menjadi produk jadi agar nilai tambahnya semakin tinggi. Pemerintah perlu memberikan insentif kepada investor yang hendak berinvestasi pada industri hilir karet. Insentif itu misalnya pembebasan pajak beberapa tahun.
Selama ini perhatian terhadap komoditas perkebunan karet masih minim. Padahal, komoditas karet diusahakan petani. Berbeda dengan perkebunan lainnya, misalnya sawit, yang diusahakan skala korporasi.
Belum lagi, petani sulit saat ingin meremajakan karet mereka karena keterbatasan biaya. Perlu adanya intervensi pemerintah di hulu juga sehingga para petani bisa meremajakan karet. Kalau tidak ada intervensi dan komitmen pemerintah, petani karet akan semakin terpuruk masa depannya.
Efredi (54), petani karet di Kabupaten Sanggau, sangat berharap ada perhatian pemerintah terhadap komoditas karet. Selama ini, nasibnya sangat bergantung pada pedagang perentara sehingga tidak bisa menikmati harga yang pantas. Harga karet yang dibeli pedagang hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram. Akibatnya, anak-anaknya sempat beberapa kali nyaris putus sekolah karena tidak memiliki biaya sekolah.
”Kami ingin mendapatkan harga jual yang pantas sehingga bisa hidup layak. Kami bingung kenapa nasib kebun karet rakyat tak kunjung diperhatikan pemerintah. Padahal, masih banyak yang bergantung pada karet,” kata Efredi.
Matius (35), petani karet di Kabupaten Ketapang, juga berharap demikian. Ia jarang melihat ada kebijakan untuk membangun kebun karet rakyat. Pernah ada bantuan dari pemerintah, tetapi itu sudah lama. Setelah itu, kami tidak didampingi lagi. Padahal, kami memerlukan pendampingan juga.
Di Kalbar masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada komoditas karet. Data Sensus Karet 2015-2017 menunjukkan, setidaknya ada 264.328 KK petani karet di Kalbar yang bergantung pada komoditas karet. Perlu kebijakan serius dan keberpihakan pemerintah kepada petani karet. Kesejahteraan mereka kian terpuruk.