Lakukan Reposisi, atau Bakal Jadi Kota Tua yang Ditinggal
Oleh
Windoro Adi
·4 menit baca
Cirebon, Kompas - Kota Cirebon harus mereposisi dirinya di tengah persaingan perkembangan wilayah di Pulau Jawa, atau kota ini bakal jadi kota tua yang ditinggalkan.
Demikian disampaikan Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran Adi Pati Arief Nata Diningrat saat memberi sambutan pada acara rapat paripurna DPRD Kota Cirebon bersama Pejabat Walikota Cirebon, Dedi Taufik di gedung DPRD Kota Cirebon, Selasa (11/9/2018). Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon Lili Eliyah dan Harry Saputra Gani yang ditemui terpisah mengamini hal serupa.
Menurut Arief, sudah saatnya pemerintah memusatkan industri pariwisata di Kota Cirebon sebagai bisnis utama kota ini. "Beberapa tahun terakhir ini peringkat satu pendapatan asli daerah (PAD) diraih oleh sektor pariwisata. Tetapi tampaknya pemerintah masih ragu dan belum maksimal mendorong sektor ini," tegasnya.
Berdasarkan data di laman BKD.cirebonkota.go.id disebutkan dari total PAD Kota Cirebon Rp 112,460 miliar di tahun 2017, sektor pariwisata menyumbang pemasukan Rp 50,544 miliar atau 44,9 persen dari total PAD. Sektor pariwisata terdiri dari unsur PAD hiburan (Rp 6,695 miliar), hotel (Rp 11,859 miliar), dan restoran (Rp 31,989 miliar).
"Kalau pemerintah kota Cirebon tidak tanggap dengan perubahan, maka bukan mustahil, pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati di Majalengka, bakal membuat Cirebon ditinggalkan, dan menjadi kota tua yang merana," tuturnya.
Ia kemudian memberi contoh pembangunan jalan tol Cipali yang membuat bisnis SPBU, restoran, penginapan dan hotel di Subang, Indramayu, dan sejumlah kota di kawasan pantai utara, lesu bahkan gulung tikar.
Harry pun mengatakan hal yang sama. "Jangan sampai nasib perekonomian Cirebon seperti Indramayu. Contohlah Jember. Kota ini tidak memiliki sumber daya alam dan kekayaan budaya, tradisi, seperti Kota Cirebon, tetapi PAD di sektor pariwisata, lebih menjanjikan dibanding Kota Cirebon," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah Kota Cirebon seharusnya mampu membuat lebih banyak pertunjukan, dan festival budaya untuk menjaring wisatawan.
"Kendala utamanya itu. Kalau soal tradisi, hiburan, tontonan dari yang klasik sampai kontemporer, sumber daya alam Kota Cirebon melimpah. Belum lagi kawasan untuk wisata sejarah dan budaya," tandasnya.
Lili juga optimis, hadirnya BIJB di Majalengka tidak akan membuat usaha di sektor wisata Kota Cirebon, surut karena terdesak perkembangan sektor usaha pariwisata di Majalengka.
"Kota Cirebon sudah lebih siap dibanding Majalengka. Tinggal kita dorong percepatan sajian dan pelayanan melalui jaringan usaha yang terkait. Kalau perlu Kota Cirebon melakukan reklamasi untuk kawasan wisata. Kalau Singapura bisa dengan Pulau Sentosa-nya hasil reklamasi, kenapa Kota Cirebon tidak?" tegasnya.
Pada bagian lain, Arief mendesak eksekutif dan legislatif menambah anggaran untuk pengembangan sektor pariwisata. "Ini output-nya besar, tapi kok input (alokasi dana untuk sektor pariwisata) masih kecil," ucapnya.
Lili sependapat. "Memang seharusnya infrastruktur penunjang pariwisata, ditambah alokasi dananya. Kalau sudah kuat, baru bicara soal alokasi dana promosi wisata," ujarnya.
Keraton
Pada bagian lain, baik Harry maupun Lili sependapat, lingkungan keraton masih menjadi destinasi pariwisata andalan Kota Cirebon. "Soal Keraton Kanoman yang masih tertutup pasar kumuh sudah menjadi perhatian pemerintah. Sudah ada rencana menata pasar meski masih dalam perdebatan," ungkap Harry.
Untuk meningkatkan jumlah wisatawan di Keraton Kasepuhan, Arief telah melakukan sejumlah langkah. "Sebelum saya menjadi sultan, jumlah abdi dalem dan karyawan keraton cuma 15 orang. Sekarang sudah 100 orang yang 80 orang di antaranya menerima pendapatan sesuai upah minimum kota, sejak dua tahun terakhir. Seluruh abdi dalem dan karyawan sejak 2014 sudah mendapat BPJS," papar Arief.
Pengamatan Kompas, kondisi Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan masih timpang. Keraton Kasepuhan sudah lebih baik tata kelolanya melayani pengunjung, ketimbang Keraton Kanoman yang terkesan merana, dan kotor oleh kepungan para pedagang kaki lima.
Cheppy, suami adik Sultan Kanoman XII, mengakui hal ini. "Kehadiran pasar yang menutup jalan masuk Keraton Kanoman ini kan warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai usaha memecah belah Keraton Pakungwati menjadi Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman," tutur Cheppy.
Untuk membuka kawasan Keraton Kanoman, lanjut Cheppy, pemerintah harus turun tangan menata pasar. "Kami tidak punya wewenang menertibkan para pedagang kakilima, perparkiran, atau menata kembali pasar, agar kehadiran pasar dan dan Keraton Kanoman saling melengkapi dan memerkaya aspek pelayanan pariwisata," jelas Cheppy.