PONTIANAK, KOMPAS — Nilai tukar petani di Kalimantan Barat kian merosot. Hal itu terjadi karena harga komoditas pertanian dan perkebunan, khususnya karet, terus anjlok. Kesejahteraan petani pun semakin suram.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, nilai tukar petani (NTP) terus turun beberapa bulan terakhir. Pada Juni, NTP Kalbar 95,69, turun 0,61 dari Mei. Kemudian, NTP pada Juli 95,50, turun 0,19 dari Juni. Demikian juga pada Agustus, NTP Kalbar 94,66, turun 0,87 dari Juli.
”Pemicu utama NTP terus menurun karena harga komoditas pertanian perkebunan yang masih anjlok, khususnya harga karet yang masih berkisar Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram. Dengan menurunnya NTP juga artinya kesejahteraan petani semakin menurun. Ini bisa memicu naiknya angka kemiskinan,” kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman, Rabu (12/9/2018).
Cara mengatasi menurunnya NTP bisa melalui dana desa. Pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes) perlu lebih digalakkan. Bentuklah BUMDes yang berfungsi membeli hasil pertanian dan perkebunan rakyat. Beli dengan harga yang layak. Keberadaan BUMDes bisa memotong mata rantai pemasaran yang panjang.
BUMDes dibentuk sesuai dengan potensi desa, misalnya karet. Kemudian, jeruk; daerah yang berpotensi terdapat jeruk seperti Kabupaten Sambas. Daerah itu terkenal sejak lama dengan komoditas jeruk Sambas.
”Selama ini, harga karet anjlok karena mata rantai yang panjang. Panjangnya mata rantai pemasaran membuat banyak pedagang perantara yang berperan menentukan harga sehingga petani tidak menerima harga yang layak. Dengan adanya BUMDes bisa membantu petani,” paparnya.
Pembentukan BUMDes di Kalbar memang belum begitu baik jika dibandingkan dengan desa-desa yang ada di Jawa. Hal itu dipicu oleh lemahnya kapasitas sumber daya manusia di pedesaan Kalbar.
”Perputaran uang di pedesaan tinggi, tetapi manfaat perputaran uang itu bagi desa selama ini tidak terlihat. Manfaatnya tidak diterima oleh desa-desa di Kalbar sehingga masalah masih merundung para petani,” ujarnya.
BUMDes juga bisa diarahkan untuk menjual pupuk bagi petani. Jika penjualan pupuk dikelola BUMDes, harapannya harga jual ke petani bisa lebih murah. Hal itu bisa sangat membantu petani.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Kalbar Alexander menargetkan pada 2019 BUMDes yang terbentuk bisa mencapai 60-70 persen dari 2.031 desa di Kalbar. Untuk mencapai hal itu, setiap bulan selalu dimonitor perkembangan para pendamping desa. Dari hasil monitoring, sebagian besar pendamping desa sekarang sudah lebih baik daripada beberapa tahun sebelumnya.
”Namun, memang masih ada juga kinerja pendamping desa yang belum optimal, tetapi hanya sebagian kecil. Selain itu, ada desa yang tidak mau didampingi pendamping desa karena alasan tertentu,” kata Alexander.
Berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Kalbar, dana desa yang diterima Kalbar terus meningkat. Pada 2015 dana desa untuk Kalbar Rp 537,07 miliar, tahun 2016 sebesar Rp 1,24 triliun, kemudian pada 2017 sebesar Rp 1,61 triliun dan pada 2018 sebesar Rp 1,69 triliun.
Pantauan Kompas, di sejumlah wilayah di Kalbar, banyak desa yang baru berupaya mendirikan BUMDes untuk mengembangkan komoditas unggulan di desa. Kepala Desa Sempatung, Kabupaten Landak, Thimotius mengatakan, dana desa sudah dialokasikan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Sementara untuk pengembangan komoditas unggulan desa baru dalam tahap perencanaan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.