Warga Belum Dapat Dana Jaminan Hidup
Masa tanggap darurat berakhir, warga Lombok terdampak gempa belum menerima dana jaminan hidup. Mereka kesulitan karena ekonomi belum pulih.
MATARAM, KOMPAS Bantuan dana jaminan hidup bagi warga terdampak gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, hingga saat ini belum terealisasi. Pemerintah kabupaten/kota di NTB beralasan masih menyelesaikan validasi jumlah rumah yang rusak.
”Validasi data rumah yang rusak masih berjalan di pemerintah kabupaten/kota,” ujar Kepala Dinas Sosial NTB Ahsanul Khalik, Rabu (12/9/2018), di Mataram, Lombok.
Menteri Sosial (saat itu) Idrus Marham seusai rapat koordinasi tentang rehabilitasi dan rekonstruksi di Kantor Gubernur NTB, Selasa (21/8), mengatakan, setelah masa tanggap darurat selesai, akan dibagikan dana jaminan hidup (jadup) untuk korban terdampak gempa sebesar Rp 10.000 per orang.
Bupati/wali kota diminta mendata dan mendaftar warga yang terdampak serta memberikan rekomendasi atau surat keputusan yang akan dijadikan dasar Kementerian Sosial (Kemsos) memberikan bantuan.
Menurut Ahsanul, validasi data rumah menjadi lama akibat gempa beruntun. Yang semula rusak ringan bisa berubah menjadi rusak berat. Data dan daftar nama anggota keluarga juga harus dicocokkan dengan nomor induk kependudukan penerima. Proses pencocokan perlu ketelitian agar dana jadup diterima oleh yang berhak.
”Uang (dana jadup) sudah ada, tinggal menunggu hasil validasi dan SK bupati/wali kota. Lalu, dana dikirim ke rekening penerima,” ujar Ahsanul.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Utara Suardi mengatakan, aparat kecamatan hingga dusun sedang melakukan pendataan rumah yang rusak berat, sedang, dan ringan. Di Kecamatan Kayangan, baru 3 desa dari 10 desa yang selesai divalidasi.
Suardi mengharapkan validasi data selesai pekan depan. Ia juga berharap Kemsos mengirimkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pembagian dana jadup agar ada kepastian bagi masyarakat.
Hal senada dikatakan Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid. Dari verifikasi Dinas Pekerjaan Umum Lombok Barat, terdapat 9.000 rumah rusak berat. ”Saat ini sedang cross-check NIK dan jumlah jiwa per keluarga,” kata Fauzan.
Posko Satgas Gabungan Terpadu Penanganan Darurat Bencana Pemprov NTB menyebutkan, per 5 September, tercatat 149.706 rumah rusak, tersebar di Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Sumbawa.
Belum jelas
Kepala Desa Sembalun, Lombok Timur, Harmini menuturkan, belum ada kejelasan informasi dari instansi terkait mengenai bantuan jadup. Padahal, data rumah yang rusak dan jumlah anggota per keluarga tinggal diserahkan. Warga desa itu sangat membutuhkan dana jadup karena saat ini tidak punya pekerjaan.
Warga Desa Sembalun umumnya bekerja sebagai porter dan pemandu wisata pendakian Gunung Rinjani. Selama tiga bulan sejak gempa pada 29 Juli 2018, pendakian ke Rinjani ditutup. ”Praktis warga tidak bekerja. Mereka tinggal di tenda pengungsian. Warga membutuhkan bantuan logistik dan keperluan lain,” ujar Harmini.
Kadus Batukok, Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Suhardi mengatakan, dari 821 warga dusunnya yang mengungsi, 90 persen bekerja sebagai porter dan pemandu wisata. Suhardi berulang kali menanyakan soal dana jadup ke kepala desa dan camat Bayan, tetapi belum mendapat jawaban pasti. Padahal, warga sudah menyerahkan kartu keluarga. ”Saya khawatir dianggap bohong oleh warga,” ucapnya.
Mistariati (28), warga Desa Bukbuk, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, mengatakan, tidak tahu soal bantuan jadup. Ia sibuk berdagang kangkung dan sayuran di Pasar Gunung Sari. Istri Muktamar (30) itu mendapat untung Rp 50.000 per hari dari berjualan. Uang itu untuk biaya hidup sehari-hari. Mistariati mengungsi di tenda karena rumahnya rusak berat.
Nasib sama dialami Yuliati (30), warga Dusun Malimbu, Desa Malaka, Lombok Utara. Rumahnya rata dengan tanah sehingga harus tinggal di pengungsian. ”Kalau ada bantuan uang (jadup) syukur. Sebab, saya tidak bisa berjualan ikan bakar lagi,” ujarnya.
Ibu tiga anak ini sebelum gempa berjualan ikan bakar di Pantai Malimbu. Dulu, pendapatannya rata-rata Rp 400.000 per hari. Akan tetapi, hampir dua bulan terakhir, mata pencariannya hilang. Nelayan yang biasa memasok ikan tidak berani melaut akibat ombak besar.
Suami Yuliati, Rubai (38), yang turut membantu berjualan ikan, kini memburuh ke obyek wisata Gili Terawangan. Ia bekerja membersihkan puing-puing bangunan hotel dan rumah warga yang rusak akibat gempa dengan upah tidak menentu. (RUL)