Nestapa di Tengah Kemilau Emas Kuning dan Hijau Pulau Borneo
Eksploitasi kekayaan alam Kalimantan Barat terjadi sejak ratusan tahun silam. Setidaknya, tahun 1776, ketika kongsi pertambangan emas China beroperasi. Kemilau emas tak jarang menimbulkan konflik dan peperangan karena perebutan kepentingan ekonomi.
Sabtu (4/8/2018) , warga Monterado, kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sibuk dengan berbagai aktivitasnya. Di wilayah pinggiran Monterado tampak lubang-lubang bekas pertambangan emas. Bahkan, ada lubang tambang yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Lubang itu dipenuhi air saat hujan.
Sepintas, Monterado hanya sebuah kecamatan kecil. Namun, setidaknya era 1776-1884, daerah itu menjadi kawasan ekonomi penting. Di sana terdapat kongsi (usaha bersama) pertambangan China. Di Kalbar, ada 16 kongsi pertambangan.
Para petambang dari daratan China datang atas permintaan Kesultanan Sambas dan Mempawah untuk mengolah kandungan emas di Monterado. Selain di Monterado, ada pula kongsi pertambangan di Mandor, kini masuk Kabupaten Landak, yang disebut Kongsi Lanfang. ”Mereka datang dari daratan China dan masuk ke daerah pedalaman Kalbar melalui sungai-sungai,” ujar budayawan Tionghoa, XF Asali.
Kongsi-kongsi pertambangan terhubung dengan kota-kota di pesisir yang memiliki pelabuhan, misalnya di Pemangkat, Kabupaten Sambas, dan Singkawang yang dulu masih bagian dari Sambas. Pada masa itu, sudah ada ekspor emas.
Antarkongsi pertambangan kerap berperang karena benturan kepentingan ekonomi. Demikian penuturan budayawan dan sejarawan Pontianak, Syafaruddin Usman.
Pengerukan kekayaan alam di Kalbar memasuki babak baru saat pergerakan modal mulai masuk. Kalimantan, pulau ketiga terbesar di dunia yang di masa lalu dikenal memiliki hutan hujan tropis terkaya di sabuk Khatulistiwa, berubah cepat sejak 1970-an, ketika pemerintah Orde Baru menerbitkan tiga undang-undang (UU) yang melegalkan seluruh eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam di Indonesia. Saat itulah ”emas hijau” mulai bersinar.
Ketiganya adalah UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Ini diikuti dengan peraturan pemerintah (PP), yakni PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan Melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.
”HPH hampir muncul di semua kabupaten di Kalbar. Namun, praktik HPH yang bisa dikatakan paling besar berada di Kabupatem Ketapang. Pemegang izin waktu itu adalah kroni-kroni penguasa,” ujar aktivis antipembalakan liar, Happy Hendrawan.
Akhir 1990-an, industri kayu runtuh karena protes keras dari negara-negara maju terhadap pembalakan hutan di Kalbar. Satu per satu perusahaan kayu merumahkan karyawan.
Meski runtuh, pengusaha masih menikmati limpahan harta dari mengeruk kekayaan alam. Sementara masyarakat kembali ke titik awal hidup mereka.
Runtuhnya industri kayu tidak membuat pengerukan kekayaan alam berhenti. Masuk lagi investasi perkebunan.
Ada yang hanya pengalihan aset dari industri kayu ke perkebunan. Kini, izin perkebunan sawit sekitar 4 juta hektar. Realisasi tanam baru sekitar 1 juta hektar.
Potret nestapa
Syafaruddin mengatakan, kesultanan, kongsi, dan pemerintah kolonial adalah pihak yang paling mengambil keuntungan dari eksploitasi kekayaan alam masa kongsi. Apalagi, saat pihak Belanda (VOC) mengalami kebangkrutan, mereka mencari sumber daya ekonomi baru.
”Masyarakat pedalaman yang berada di sekitarnya dikesampingkan. Potret sosial ekonomi masyarakat pedalaman buruk. Kalaupun bekerja, mereka hanya sebagai buruh kasar,” ujar Syafaruddin.
Happy mengungkapkan, potret kesejahteraan masyarakat pedalaman pada masa industri kayu juga tidak mengalami perbaikan berarti. Praktik HPH yang tidak terkontrol justru menciptakan kemiskinan. Di mana ada izin investasi, di situ ada kantong kemiskinan.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Muhammad Arman mengatakan, hingga kini masyarakat masih diperlakukan sebagai obyek pembangunan. Investasi di daerah justru membuka kemiskinan baru. ” Ketika tanah-tanah masyarakat dikonversi menjadi perkebunan, terjadi kemiskinan. Daerah di sekitar konsesi malah jadi lumbung kemiskinan karena akses terhadap sumber daya alam timpang,” kata Arman.
Bahkan, banyak pelanggaran HAM. Masyarakat banyak yang dikriminalkan saat berjuang mengembalikan hak mereka yang diambil oleh korporasi pemegang izin konsesi di daerah. Ada puluhan kasus konflik agraria setiap tahun di Kalbar.
Data Badan Pusat Statistik Kalbar, setiap tahun jumlah penduduk miskin di desa masih lebih tinggi daripada di perkotaan. Padahal, investasi dilakukan di daerah pedalaman.
Kemiskinan pada Maret 2017 di perkotaan ada 76.160 jiwa, sedangkan di desa mencapai 311.270 jiwa. Maret 2018, kemiskinan di perkotaan 84.520 jiwa dan di desa mencapai 302.560 jiwa.
Ketimpangan di Kalbar cenderung meningkat. Maret 2017, gini rasio Kalbar 0,327 dan September 2017 menjadi 0,329.
Kemudian, Maret 2018 meningkat lagi menjadi 0,339. Rasio gini di Kalbar berpotensi tinggi karena perekonomiannya berbasis komoditas pertambangan dan perkebunan. Pihak yang mendapatkan keuntungan jika harga komoditas mengalami kenaikan pesat adalah para pemilik konsesi yang tinggal di luar Kalbar.
Tak hanya itu, indeks keparahan kemiskinan meningkat. Pada September 2017 sebesar 0,208, sedangkan Maret 2018 sebesar 0,279. Demikian juga dengan indeks kedalaman kemiskinan Kalbar yang meningkat, September 2017 sebesar 1,022 dan Maret 2018 mencapai 1,184. Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan makin banyak orang miskin yang terpuruk jauh dari garis kemiskinan.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menilai, kemiskinan di desa masih lebih tinggi dari kota. Selain karena imbas kehadiran investasi yang belum memberikan manfaat besar bagi masyarakat di desa, juga karena nilai tukar petani yang tidak membaik. Petani karet, misalnya, bernasib makin buruk.
Investasi yang ada berjarak dengan masyarakat. Masyarakat hanya masuk pada pekerjaan kasar. Seharusnya masyarakat disiapkan agar bisa bekerja di tingkat yang lebih tinggi. Sebab, pada hakikatnya pembangunan untuk memanusiakan manusia.
Namun, hal itu tidak terjadi. Sistem investasi masih menciptakan ketimpangan akses sumber daya alam antara pemilik modal dan masyarakat.
Menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, daerah ataupun pusat, mengubah kondisi itu.