Demokrasi Tidak Boleh Jadi Alasan Pemecah Belah Persatuan
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·2 menit baca
SOLO, KOMPAS — Indonesia akan menggelar pemilihan presiden dan wakil presiden untuk pertama kali bersamaan dengan Pemilihan Legislatif 2019. Demokrasi tidak boleh menjadi alasan pemecah belah persatuan bangsa.
Pesan tersebut muncul dalam seminar bertema ”Pemilu 2019: Merajut Kebinekaan dalam Pesta Demokrasi” di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (18/9/2018) .
Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan, Pemilu 2019 merupakan wujud implementasi kebinekaan. Masyarakat Indonesia yang beragam suku, agama, dan ras akan memilih dalam pemilihan presiden ataupun pemilu legislatif untuk satu Indonesia. Persatuan bangsa harus tetap dijaga siapa pun yang terpilih nantinya.
”Siapa pun presiden yang terpilih, yang menang adalah Indonesia, untuk Indonesia, bukan untuk orang-perorang,” kata Rudyatmo.
Dosen Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), Isharyanto, mengatakan, Indonesia akan memasuki era baru penyelenggaraan pemilu. Untuk pertama kalinya, pilpres dan pileg digelar secara serentak. Perbedaan memilih merupakan hal yang wajar.
”Demokrasi tidak boleh menjadi alasan pemecah belah atau menjurus pada konflik,” katanya.
Ketua Bidang Kajian Strategis PP GP Ansor Mohammad Nuruzzaman mengatakan, saat ini bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang harus dihadapi bersama seluruh elemen masyarakat. Tantangan itu salah satunya adalah dipertanyakannya kembali konsensus kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 oleh sekelompok kecil orang. “Tantangan ini nyata dan terang, misalnya upaya penegakan khilafah,” katanya.
Nuruzzaman mengingatkan, Negara Indonesia ada karena keberagaman suku dan agama. Karena itu, tidak semestinya Indonesia dimiliki oleh salah satu kelompok saja.
Menurut Ketua Pembina Yayasan Centre for Strategic and International Studies Harry Tjan Silalahi, dalam ajang Asian Games 2018, sejumlah mantan atlet beretnis Tionghoa turut menyalakan dan membawa obor api abadi. Tidak ada diskriminasi dan masyarakat menganggap hal itu wajar. "Ini menandakan pluralisme adalah hal yang wajar bagi bangsa Indonesia sejak semula," katanya.