Pertumbuhan Ekonomi Kalbar Cenderung Meningkat, tetapi Angka Kemiskinan Paling Tinggi
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Barat cenderung meningkat. Namun, sayangnya pertumbuhan itu belum berkualitas. Pertumbuhan ekonomi itu belum terasa oleh masyarakat yang ditandai belum membaiknya indikator yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, angka kemiskinan di Kalbar tercatat paling tinggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Kalimantan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat, pertumbuhan ekonomi Kalbar pada 2017 sebesar 5,17 persen dan naik pada semester II-2018 menjadi 5,18 persen. Inflasi relatif terkendali meski pada 2013 sempat menyentuh 9,48 persen, tetapi berhasil turun beberapa tahun terakhir. Pada 2017, inflasi Kalbar 3,86 persen.
”Pertumbuhan ekonomi Kalbar baik, bahkan sempat melampaui nasional. Inflasi pun terkendali. Namun, sayangnya pertumbuhan ekonomi Kalbar belum berkualitas,” ujar Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman dalam Seminar Forum Ekonom Kementerian Keuangan di Pontianak, Selasa (18/9/2018).
Pertumbuhan itu belum berdampak pada pemerataan. Indeks gini Kalbar tiga tahun terakhir cenderung stagnan pada angka 0,33. Artinya, tidak ada perbaikan dari aspek pendapatan antarkelompok di Kalbar.
Tak hanya itu, indeks pembangunan manusia (IPM) juga hanya 66,26 jauh dibandingkan angka nasional sebesar 70,81. Di Kalbar, hanya Kota Pontianak yang IPM-nya di atas rata-rata nasional karena di perkotaan. IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam pendidikan, kesehatan, dan pendapatan disesuaikan. Artinya, indikator pembentuk IPM itu belum ada perkembangan berarti.
Bahkan, angka kemiskinan Kalbar juga menurun meski penurunannya tidak signifikan. Persentase kemiskinan pada Maret 2017 sebesar 7,88 persen dan Maret 2018 hanya turun menjadi 7,77 persen.
”Kemiskinan Kalbar tertinggi di Kalimantan. Kemiskinan sebagian besar di pedalaman. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak begitu berdampak pada pengurangan kemiskinan,” ujarnya.
Padahal, jika dilihat investasi di Kalbar cenderung meningkat baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA). Realisasi pertumbuhan PMDN periode 2013-2017 mencapai 32,46 persen. Untuk pertumbuhan PMA 2013-2017 realisasinya 23,74 persen.
”Pertumbuhan tenaga kerja asing, baik di PMDN maupun PMA, lebih banyak. Pertumbuhan tenaga kerja asing pada PMDN periode tersebut 305,62 persen, sementara pertumbuhan tenaga kerja dalam negeri 8,00 persen. Demikian juga pertumbuhan tenaga kerja asing di PMA sebesar 33,26 persen, sedangkan pertumbuhan tenaga kerja dalam negeri hanya 11,71 persen. Serapan tenaga kerja dalam negeri masih kurang,” kata Eddy.
Kondisi itu diperparah lagi dengan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara untuk Kalimantan secara umum relatif belum adil. Surplus keuangan di Jawa sekitar Rp 840 triliun tetapi hanya dinikmati oleh Kalimantan sekitar Rp 7,9 triliun. Itu paling rendah dibandingkan dengan daerah lain, misalnya dibandingkan dengan Bali dan Nusa Tenggara yang menikmati surplus anggaran Jawa mencapai Rp 40,9 triliun.
Padahal, kontribusi pendapatan Kalimantan jauh lebih besar, yakni mencapai Rp 86 triliun dibandingkan dengan Bali dan Nusa Tenggara yang hanya Rp 15,5 triliun atau hanya 1 persen kontribusinya terhadap pendapatan secara nasional. Akhirnya, pembangunan di Kalimantan secara umum, termasuk Kalbar, berjalan lamban.
Belum lagi proporsi belanja modal periode 2013-2017 yang hanya 13,08 persen dari total belanja sekitar Rp 5,3 triliun. Sementara belanja pegawai mencapai 15,88 persen dari total belanjar Pemerintah Provinsi Kalbar.
Efektivitas alokasi
Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, anggaran selama ini meskipun untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, arah alokasinya tidak jelas karena daerah tidak melakukan perencanaan dengan baik. Pendapatan masyarakat akhirnya tidak meningkat.
Selain itu, desa-desa masih menghadapi masalah infrastruktur. Bahkan, dari 2.031 total desa di Kalbar, baru satu desa yang kategori desa mandiri. Sebanyak 452 desa belum dialiri listrik. Pertumbuhan ekonomi belum berdampak pada penurunan variable-variabel kemiskinan.
Hal itu juga menjadi ironi karena Kalbar kaya sumber daya alam, bahkan menjadi penghasil minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar kedua di Indonesia. Setidaknya setahun mencapai 1,8 juta ton. Namun, tidak mendapatkan bagi hasil pajak ekspor karena CPO dari Kalbar diekspor melalui pelabuhan di Jakarta dan Sumatera. Padahal, potensi bagi hasil pajak ekspor berkisar Rp 1,8 triliun-Rp 2 triliun per tahun.
”Ke depan, pada era pemerintahan saya, pembangunan harus berdasarkan kebutuhan rakyat, bukan keinginan pemimpinnya. Maka, saya banyak memotong anggaran yang tidak perlu, antara lain perjalanan dinas dan kendaraan dinas untuk saya alihkan ke program lain yang lebih berdampak pada masyarakat, misalnya pendidikan dan infrastruktur,” ujarnya.