Hikayat Tiga Datuk Menjaga Rimba Putus
Hikayat tentang tiga datuk menjaga keberadaan sebuah hutan tua di Desa Petapahan, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Selama ratusan tahun, Hutan Imbo Putui, atau Rimba Putus, itu bertahan di tengah pembukaan kebun sawit dan hutan tanaman industri yang telah menggerus hutan di sekitarnya.
Salah satu warga Petapahan, Said Faizan (35), mengatakan, dari kisah yang diceritakan turun-temurun tentang hutan itu, hingga sekarang warga umumnya masih segan berbuat tak baik di hutan itu. Jangankan menebang pohon, mengumpat di hutan itu pun diyakini bisa membawa hal buruk.
”Dulu ada mahasiswa yang masuk ke hutan, lalu ngomong kasar di sana. Baru beberapa langkah sudah lemas dan harus dibantu keluar,” katanya ditemui di Desa Patahan, Minggu (22/7/2018).
Nama Imbo Putui yang artinya ’Rimba Putus’ sekilas cocok dengan lokasi hutan seluas sekitar 270 hektar itu. Hutan itu memang seperti rimba yang terputus karena di sekitarnya sudah berubah menjadi ribuan hektar hutan tanaman industri, kebun sawit, dan permukiman.
Pada Minggu itu, jalan tanah yang membelah hutan itu tak henti mengepulkan debu dari mobil-mobil perkebunan hingga lalu lalang hingga larut malam.
Namun, sebenarnya makna nama itu bukan rimba yang terputus. Nama itu berasal dari kata ”keputusan” atau ”putusan”. Konon, dulu Imbo Putui adalah hutan tempat mengambil keputusan seseorang layak menjadi raja atau tidak.
Konon setiap calon raja Siak harus datang ke Petapahan untuk bertapa di hutan itu hingga putus ilmunya dan bisa keluar dari hutan itu. Nama desa itu diambil dari tempat pertapahan yang artinya ’pertapaan’. Ada juga versi nama itu diambil dari ikan tapahan yang banyak terdapat di sungai di sana.
Kisah Imbo Putui tak bisa lepas dari legenda terbentuknya Desa Petapahan. Sebelum menjadi Petapahan, seorang pemuda berani, Datuk Sibuani, berusaha membuka hutan lebat di sana untuk menjadi permukiman. Namun, setiap kali ia menebang pohon, pohon itu kembali tegak berdiri keesokan harinya.
Setelah mengintip, ia bertemu dengan Datuk Ali Boceh yang disertai sesosok harimau Datuk Dubalang Imbang. Kedua datuk itulah yang menumbuhkan lagi setiap pohon yang ditebang.
Harimau pun bertanya, hutan itu rumah mereka, kenapa ditebangi pohonnya. Setelah musyawarah, akhirnya kedua datuk itu menantang si manusia Datuk Sibuani untuk tak tidur sepekan lamanya. Berkat kecerdikan akal manusianya, Datuk Sibuani berhasil memenangi tantangan.
Datuk Ali Boceh dan Datuk Dubalang Imbang memenuhi janjinya. Mereka membantu membuka hutan dan membuat kampung. Sebelum pindah rumah ke bagian hutan yang sekarang menjadi Imbo Putui, mereka meminta Datuk Sibuani berjanji bahwa ia dan anak cucunya yang mewarisi kampung itu harus terus berbuat baik.
”Kalau tidak, kami akan kembali. Lalu, mereka jadi pindah ke hutan itu,” kata mereka sebelum pergi.
Tergerus
Dulu, kata Said, hutan di sekitar desa itu ribuan hektar luasnya. Hidup warga bergantung pada hutan dan sungainya yang kaya. Mereka memenuhi segala kebutuhan hidup dari hasil hutan, mulai dari pangan dengan ladang berpindah, nafkah dari menjual hasil hutan dan ikan, hingga kayu untuk membuat rumah.
Namun, sejak sekitar 1990-an, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri datang hingga menggerus luasan rimba. Warga, yang awalnya bergantung pada hasil hutan, tak punya banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhan. Warga pun ikut membuka kebun sawit.
Seiring dengan itu, kerusakan lingkungan mulai muncul. Air Sungai Petapahan kian dangkal, dari yang dulunya sedalam 1 meter sekarang tinggal rata-rata 30 sentimeter. Ikan makin jarang dan air sungai tak bisa lagi digunakan untuk konsumsi karena warga khawatir cemaran pestisida dan pupuk kimia.
Bahkan, ujar Said, sekitar tahun 1998, ribuan ikan mati mengambang di sungai diduga karena keracunan pestisida dan pupuk. ”Waktu itu, warga emosi. Cuma tak tahu harus marah ke mana. Tapi, itu menyadarkan betapa rugi warga karena lingkungan rusak,” katanya.
Dari kesadaran itu, warga Petapahan sepakat untuk menjaga hutan yang tersisa. Aturan adat pun diperketat. Dulu warga masih bisa mengambil kayu bakar dari sana, sekarang dibuat aturan adat untuk mengambil kayu bakar dari hutan itu pun tak boleh lagi. Warga yang melanggar harus membayar denda adat 50 zak semen.
Kendati kecil, Imbo Putui kaya akan kekayaan hayati. Beberapa ratus langkah saja dari pinggirannya terlihat dua pohon, jenis ara dan kempas, yang saling melilit menjadi satu sehingga terlihat seperti satu pohon. Batangnya yang unik kira-kira seukuran lebih kurang tiga lingkaran lengan orang dewasa.
Hutan itu sudah menerima sertifikat sebagai sumber benih untuk kayu kulim. Beragam lebah hutan bersarang di kayu-kayu lapuk di dalamnya. Lebah-lebah itu menghasilkan madu propolis yang harganya di pasaran bisa mencapai Rp 200.000 untuk 50 milimeter saja. Hutan kecil itu juga konon masih dihuni harimau sumatera, beruang, dan burung enggang.
Manajer World Resources Institute Rahmat Hidayat, yang mendampingi warga Petapahan untuk pengelolaan hutan, mengatakan, beragam cara tengah ditempuh untuk menjamin kelestarian hutan itu hingga di masa-masa mendatang. Salah satu langkah terpenting adalah mengajukan hutan itu sebagai hutan adat. Penetapan itu akan mencegah pemimpin-pemimpin wilayah di masa mendatang memberikan izin untuk pembukaan hutan.
Program kerja sama dilakukan dengan komunitas hingga di Jakarta agar hutan itu menghasilkan pemasukan langsung kepada warga sekitar. Salah satunya program pohon asuh.
Sekitar 7.000 pohon yang layak untuk pohon asuh sudah terdata. Orangtua asuh pohon membayar sekitar Rp 200.000 per tahun untuk pohon asuhnya. Program ekowisata pun mulai dirintis dengan pengelolaan warga.
Kearifan lokal yang diturunkan dalam bentuk hikayat tiga datuk telah menjaga Rimba Putus di tengah tingginya ancaman.
Kearifan modern pun dinanti untuk menjamin kelestariaanya di masa mendatang.