KENDAL, KOMPAS - Minimnya partisipasi warga dalam pembangunan desa turut memengaruhi tidak optimalnya serapan dana desa. Keaktifan warga dalam musyawarah pembangunan desa meningkatkan kontrol pemanfaatan dana sekaligus memunculkan kebutuhan prioritas desa.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, mengatakan, rencana pembangunan jangka menengah desa jangan hanya sekadar syarat administrasi, tetapi manifes usulan-usulan kepala desa, perangkat desa, serta masyarakat yang ditentukan dalam musyawarah.
”Pengelolaan dana desa pasti berhasil asalkan partisipasi masyarakat hidup, forum-forum warga aktif, dan musyawarah dijalankan dengan baik,” kata Arie dalam diskusi ”Membangun dari Desa, Praktik Kelola Dana Desa” di Balai Desa Bumiayu, Weleri, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Selasa (18/9/2018).
Arie menambahkan, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, antara lain, dirancang untuk mengubah wajah desa. Apabila desa makmur serta didukung pelayanan publik, sistem data, dan sistem informasi yang baik, warga akan memilih membangun desa ketimbang pergi ke kota (urbanisasi).
Hanya saja, untuk mewujudkan itu, pengelolaan dana desa mesti dibicarakan bersama.
”Perencanaan bukan oleh segelintir orang. Jika seperti itu, potensi korupsi akan lebih besar. Ini penting karena desa harus bangkit dan menciptakan inovasi-inovasi. Semua dari bawah,” katanya.
Keaktifan masyarakat dalam musyawarah juga bagian dari fungsi pengawasan. Ada korupsi atau tidak akan terlihat sejak perencanaan. Saat kepercayaan dan kontrol terbangun, hal-hal terkait administrasi, seperti laporan pertanggungjawaban, bakal lebih sederhana dan tak berbelit-belit.
Arie menuturkan, UU No 6/2014 tentang Desa menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Masyarakat desa berwenang memetakan persoalan. Dengan begitu, program dana desa sudah seharusnya memberi dampak perubahan, bukan malah menambah masalah di desa.
Sekretaris Daerah Kendal Mohamad Toha menuturkan, salah satu kendala yang dihadapi desa dalam mengelola dana desa adalah sulitnya mencari tokoh penggerak. ”Kami sarankan memanfaatkan sarjana yang ada di desa. Pintar, jujur, dan kreatif. Itu yang diambil,” ujarnya.
Pembentukan BUMDes
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Kendal Yanuar Fathoni mengatakan, sejumlah pelatihan akan diberikan kepada desa-desa di Kendal agar penyerapan dana desa optimal. Demi daya ungkit ekonomi berkelanjutan, pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes) sangat penting.
Saat ini, dari 226 desa di Kendal, baru 158 desa yang memiliki BUMDes. ”Pada 2019, kami harapkan semua desa sudah memiliki BUMDes. Sebagai tahap awal, desa akan kami dorong membentuk unit pelayanan pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) secara online (daring),” kata Yanuar.
Dengan adanya BUMDes, serapan dana desa tak hanya terfokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga pembinaan dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, melalui BUMDes, partisipasi masyarakat untuk terlibat bakal meningkat.
Yanuar mengatakan, salah satu BUMDes yang sudah mampu menggerakkan perekonomian desa ada di Desa Kalibogor, Kecamatan Sukorejo, dengan komoditas kopi. ”Kami akan menyelenggarakan pameran produk-produk BUMDes agar pengelolaannya dapat diikuti desa-desa lain,” ujarnya.
Toha menambahkan, pihaknya mengarahkan kepala desa dan perangkat desa untuk memanfaatkan teknologi informasi, salah satunya pada sistem pelayanan pembayaran PBB daring.
Pada akhirnya, itu penting untuk meningkatkan capaian PBB Kabupaten Kendal yang saat ini baru sekitar 60 persen.
Kepala Desa Bumiayu Moh Johan menuturkan, saat ini pihaknya tengah merintis BUMDes guna mengembangkan potensi embung untuk dijadikan tempat wisata. Satu hal terpenting dalam membentuk BUMDes ialah sumber daya manusia.
Tahun 2018, dana desa yang diterima Desa Bumiayu senilai Rp 927,8 juta. ”Mayoritas digunakan untuk membangun sarana MCK (mandi-cuci-kakus) sederhana lantaran memang jadi program prioritas. Ada 170 keluarga yang belum memiliki jamban, sedangkan Kendal sudah ditargetkan ODF (bebas dari buang air besar sembarangan),” kata Johan. (DIT)