Petani Sawit Perlu Miliki Sertifikat Berkelanjutan
Oleh
·3 menit baca
KASONGAN, KOMPAS - Petani sawit perlu memiliki sertifikat berkelanjutan untuk mengubah paradigma tata kelola kebun. Selain bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dan produksi kebun, dengan adanya sertifikat itu, petani didorong memiliki wawasan lingkungan dan memenuhi syarat keberlanjutan.
Hal itu disampaikan Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Tiur Rumondang di sela-sela pemberian sertifikat RSPO kepada Kelompok Tani Tenera di Desa Hampalit, Katingan, Kalimantan Tengah, Selasa (18/9/2018).
”Perubahan yang paling sulit dilakukan adalah menghilangkan praktik berkebun lama dengan cara yang baru, paradigma baru. Mereka harus memahami dulu bahwa berkebun sawit tidak hanya untuk sekarang, tetapi untuk generasi berikutnya,” ujar Tiur.
Untuk mendapatkan sertifikat RSPO, katanya, petani diwajibkan mengikuti 8 prinsip dan 39 kriteria yang disusun RSPO. Namun, penentuan dapat atau tidaknya sertifikat merupakan keputusan dari auditor independen yang bekerja sama dengan RSPO. Karena itu, kelompok-kelompok tani harus belajar berorganisasi dan didampingi oleh perusahaan perkebunan sawit yang juga bersertifikat RSPO.
Beberapa indikator untuk petani lebih ringan, semisal masalah legalitas lahan. Jika perusahaan perlu HGU, untuk petani swadaya cukup surat keterangan dari pihak berwenang dan lahan yang digunakan bukan lahan sengketa. Tidak ada kewajiban bagi petani menurunkan emisi karbon.
Di Indonesia, RSPO baru mengeluarkan sertifikat untuk 13 kelompok tani. Dua di antaranya di Kalteng, yakni Kelompok Tani Subur di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kelompok Tani Tenera di Kabupaten Katingan.
Kelompok Tani Tenera didampingi oleh perusahaan perkebunan sawit PT Bumitama Gunajaya Agro (BGA) hampir dua tahun. Namun, mereka hanya perlu waktu 18 bulan untuk bisa memenuhi syarat RSPO.
Ketua Kelompok Tani Tenera Sugiyarno (55) menuturkan, kelompoknya memiliki lahan seluas 223 hektar yang dikelola oleh 35 anggota. Setiap anggota memiliki luas lahan beragam, 2-5 hektar atau bahkan lebih. ”Sekarang kami tahu cara merawat sawit yang benar, tidak merusak lingkungan, dan mempertahankan kualitas buah,” ujarnya.
Sebelum mengenal standar RSPO, petani cenderung menggunakan pestisida dan herbisida sesuka mereka karena kurangnya pengetahuan tentang dosis dan cara pemakaian.
Saat ini, setiap anggota mendapat omzet Rp 2,5 juta-Rp 3 juta per bulan. Mereka menghasilkan 2,8 ton tandan buah segar (TBS) per hektar per bulan atau sekitar 34 ton per hektar per tahun.
”Kami tahu berorganisasi dan sempurna dalam legalitas, jadi lebih aman. Butuh kerja keras untuk memenuhi itu,” katanya.
Sugiyarno mengatakan, meski bergabung di RSPO, pihaknya menyadari, sertifikat tidak banyak berpengaruh pada harga TBS. Namun, sertifikat memberi posisi baik dan sebagai tanda komitmen mereka terhadap lingkungan dan kualitas produksi.
Direktur Komersial PT BGA Johan Puspo Widjono menyatakan, kelompok tani itu pemasok TBS ke salah satu pabrik sawit milik PT Windu Nabatindo Lestari yang merupakan grup BGA.