BALIKPAPAN, KOMPAS - Vonis penjara 12 tahun terhadap Pandu Dharma Wicaksono (21), atas kasus pencabulan terhadap anak patut diapresiasi. Ini merupakan sinergi banyak pihak yang peduli akan kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Vonis ini bisa menginspirasi dan semakin memunculkan keberanian anak-anak yang menjadi korban, untuk melapor.
Kasus yang menyeret Pandu ke meja hijau ini terbilang kompleks, dan menguras banyak energi pihak-pihak pemerhati kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Pandu termasuk tokoh idola bagi generasi muda, dengan sederet prestasi yang terentang sejak dia duduk di bangku SMP.
Helga Worotitjan, pemerhati masalah kekerasan terhadap anak dan perempuan, Kamis (20/9/2018) mengatakan, vonis terhadap Pandu ini sudah berat yakni 12 tahun. Setidaknya, sudah menepis kecemasan banyak pihak bahwa Pandu akan divonis ringan. “Namun (vonis 12 tahun) ya belum maksimal, salah satunya, karena korban (Pandu) ada 9 orang,” ujar Helga.
Seperti diketahui vonis maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sesuai peraturan perundang-undangan, adalah 15 tahun. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Balikpapan, Rabu (19/9) kemarin, majelis hakim yang diketuai Agus Akhyudi menjatuhkan vonis penjara 12 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Sementara, Putu Elvina, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam rilisnya, memberi apresiasi kepada Pengadilan Negeri Balikpapan. Juga kepada Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim yang berkomitmen melakukan penegakan hukum demi melindungi anak-anak.
Apresiasi yang sama juga disematkan Putu kepada para “pejuang anak”, seperti dinas-dinas dan instansi di pusat maupun daerah, pemerhati, para orangtua korban, dan korban. Terutama pada korban, sebab sudah berani bersuara walau mengalami ancaman dan intimidasi.
“Dari hasil telaah KPAI, selama ini ada kesulitan dalam menegakkan hukum dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak. Ini membutuhkan usaha luar biasa, karena proses pembuktian untuk kasus-kasus sodomi, sangat kompleks. Baik dari aspek hasil visum, imbas trauma, menggali keterangan korban, maupun saksi, serta kesulitan yang timbul karena kedekatan pelaku dengan para korban,” ujar Putu Elvina.
Berkaca dari mekanisme penanganan kasus Pandu, KPAI melihat kentalnya upaya pengawalan secara bersama-sama, dalam jangka waktu lama. Ini berbuah positif dan patut ditiru. Komitmen dari para penegak hukum merupakan modal utama dalam memberikan akses keadilan bagi korban, karena tidak selamanya kasus anak berhadapan dengan hukum, mendapat atensi yang masif dari berbagai kalangan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan Sri Wahyuningsih, juga mengutarakan kelegaannya atas vonis 12 tahun tersebut. Dalam beberapa kesempatan, dia menyebut kasus Pandu ini benar-benar menguras energi dan pikiran, karena betul-betul "menghantam".
Pandu ditangkap di tempat kosnya di Yogyakarta, pertengahan September 2017 lalu. Publik sontak terkejut. Pandu yang tercatat sebagai mahasiswa kampus terkenal di Yogyakarta, saat itu masih sebagai Presiden Green Generation Indonesia-organisasi non-profit yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Pandu juga yang mendirikan organisasi itu. Kiprah organisasi ini juga sudah sampai ke luar negeri, dan membanggakan bagi Kota Balikpapan.
Tahun 2015, Pandu meraih penghargaan lingkungan dari salah satu kementerian. Saat masih di bangku SMA, Pandu pernah menjabat ketua Forum Anak Balikpapan. Pandu aktif di media sosial, dan mempunyai banyak follower di akunnya. Begitu Pandu ditangkap, “perang” di media sosial selama berbulan-bulan pun, akhirnya tidak terelakkan, antara yang melawan dengan yang mendukung Pandu.
Karena itu pula, sampai sebelum vonis dijatuhkan dalam sidang kemarin, banyak pihak, terutama para pemerhati anak yang waswas jika putusan hakim hanyalah vonis ringan, atau bahkan bebas. Di sisi lain, pihak pengacara Pandu pun juga sama yakinnya bahwa Pandu tidak bersalah.
Semua korban Pandu, 9 orang adalah anak laki-laki. Dari 9 orang ini, yang masih usia anak (13-17 tahun) sebanyak 6 anak. Tiga (korban) anak tidak dimasukkan ke dalam tuntutan karena saat kejadian pencabulan, tidak termasuk berusia anak.
Pribudiarta Nur, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan, bukan hal mudah menumbuhkan keberanian korban anak laki-laki untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Anggapan umum bahwa anak laki-laki pasti berani melawan, karena secara fisik lebih kuat (dibandingkan perempuan), menjadi salah satu faktornya.
Oleh karenanya, dalam kasus Pandu, ketika cukup banyak korban anak laki-laki berani melapor dan itu berarti melawan rasa malu, maka harus diapresiasi. Terlepas dari kasus Pandu, Pribudiarta yakin anak laki-laki korban pencabulan atau kekerasan seksual yang tidak berani melapor, masih banyak.
Kubu Pandu langsung mengajukan banding atas vonis tersebut. Achmed Mabrur Thabrani, salah satu pengacara Pandu, yakin hasil banding nantinya akan berbeda. Pandu masih diyakini tidak bersalah, dan kasus ini dilihatnya terkesan dipaksakan. “Vonis 12 tahun ini, berarti juga tidak ada pertimbangan sama sekali (dari hakim)” kata Thabrani.