Hidup Berdamping di Rimbang-Baling
Bukit Rimbang dan Bukit Baling di Kabupaten Kampar adalah surga tersembunyi. Di suaka margasatwa yang telah 300 tahun dihuni manusia itu, warga diajak untuk melestarikan hutan beserta isinya lewat ekowisata dan intensifikasi kebun.
Jejakkan kaki di ekosistem Bukit Rimbang-Bukit Baling di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau, sekitar 110 kilometer dari Pekanbaru, niscaya Anda akan disuguhi pemandangan alam yang indah. Liukan Sungai Subayang dan Sungai Bio yang membelah hutan berbukit di kawasan Bukit Barisan Sumatera menjadi bukti kekayaan alam khatulistiwa.
Perpaduan hamparan air sungai berbatu, berair jernih, dengan rerimbunan hutan alam di tepi dinding tebing bukit memadu serasi bak lukisan alam terbentang. Tidak banyak pemandangan alam indah seperti itu di bumi Riau.
Sungai Subayang dan Sungai Bio berair dangkal. Kedalamannya berkisar 50-150 sentimeter. Di musim kemarau, aliran airnya mengecil sehingga beberapa lokasi sulit dilalui perahu.
Sungai itu memiliki banyak palung yang biasa disebut lubuk. Kedalamannya sekitar 3 meter. Lubuk itu menyimpan potensi ikan air tawar luar biasa yang senantiasa terjaga oleh balutan kearifan lokal.
”Besok pagi kita akan menyusuri Sungai Subayang menuju Desa Aur Kuning untuk mengikuti acara mencokau (mengambil ikan dari lubuk larangan). Air sungai hari ini semakin dangkal.
Siap-siap turun ke sungai, ikut membantu mendorong piyau (perahu kayu tradisional bermesin tempel) apabila kandas,” kata Agustinus Wijayanto, Livehood Project Manager Yayasan Pendidikan Konservasi (Yapeka), sebelum perjalanan menyusuri Sungai Subayang di Desa Tanjung Belit, Jumat (7/9/2018) malam.
Untungnya malam itu turun hujan. Ketika pagi menjelang, air sungai sudah naik setinggi 50 cm. Namun, kondisi itu menjadi dilema. Di satu sisi, naiknya permukaan air memastikan perjalanan piyau ke Aur Kuning menjadi lancar. Sebaliknya, acara mencokau yang merupakan tujuan utama menjadi tidak pasti.
Air yang tinggi pasti menyulitkan menangkap ikan. Bisa-bisa mencokau batal dilaksanakan. Namun, perjalanan ke Aur Kuning tetap dilaksanakan. Dalam pikiran, kalaupun mencokau batal, anggap saja berwisata menikmati alam.
Benar saja, baru beberapa menit berjalan, terlihat belasan babi hutan sedang minum di sungai. Di lokasi lain, sekumpulan monyet berlompatan dari pohon ke pohon yang rindang. Ada pula biawak yang menyeberang di air bening. Pemandangan latar belakang berupa Bukit Barisan hijau sungguh menyejukkan jiwa.
”Banyaknya babi hutan menandakan, mangsa harimau masih berlimpah di ekosistem Rimbang-Baling,” kata Febri A Widodo dari WWF yang ikut dalam rombongan.
Setelah menikmati perjalanan selama dua jam menyusuri sungai, piyau tiba di lokasi tujuan. Begitu naik ke daratan, Kepala Desa Aur Kuning Damri (47) mengumumkan berita baik. Para ninik mamak (pengetua adat) sepakat, acara mencokau tetap dilaksanakan.
Puluhan warga pun bergegas memasang jaring di bendung sungai atau sekat sederhana dengan cerucuk bambu dan kayu hutan yang dipasang sehari sebelumnya. Sekat dibangun di dua sisi, yaitu di hulu dan hilir. Di ujung sisi hilir yang berair dangkal dibuat sebuah celah berisi jaring perangkap untuk menangkap ikan yang mencoba lari dari keributan warga saat mencokau dengan cara menjala, menjaring, atau menembak ikan di lubuk larangan.
”Mencokau adalah adat istiadat berusia ratusan tahun. Sehari-hari, ikan di lubuk larangan tidak boleh diambil. Kalau dilanggar ada denda dan hukuman sosial. Setahun sekali, di musim kemarau, kami memanen ikan. Ikan besar akan dilelang dan dananya masuk ke kas desa. Ikan kecil akan dibagikan merata kepada warga dengan membayar andel (uang kesepakatan) Rp 15.000 per warga yang ingin memakan ikan,” kata Damri.
Hari itu, ikan yang berhasil diangkat dari sungai mencapai 200 kilogram. Belasan ikan besar yang ditemukan adalah jenis sebarau (Hampala macrolepidota). Ada pula ikan jenis kapiek atau tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) yang bentuknya seperti ikan bawal serta ikan sebesar jari kelingking yang disebut pantau.
”Kalau airnya surut, kami biasa mendapat 600 kilogram,” kata Damri.
Kearifan lokal
Mencokau adalah kearifan lokal masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Subayang dan Sungai Bio di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling. Ekosistem suaka margasatwa seluas 141.000 hektar yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2014 itu merupakan rumah bagi lima jenis kucing besar, termasuk harimau (Panthera tigris), beserta puluhan mamalia ukuran sedang, seperti rusa sambar, beruang madu, tapir, babi berjanggut, babi hutan, musang, luwak, binturong, dan berbagai jenis monyet dan kera.
Hutan indah itu relatif terjaga. Namun, potensi kerusakan semakin meningkat seiring berlangsungnya pembalakan liar. Apabila dibiarkan, ekosistem besarnya pasti akan terganggu.
Sebenarnya ada persoalan mendasar antara manusia dan hutan di Rimbang-Baling. Secara historis, hutan alam itu sudah dihuni manusia sejak ratusan tahun lalu. Sekarang ada 10 desa dan kebun warga, terutama karet, seluas 30.000 hektar di kawasan inti suaka margasatwa.
Menurut Direktur Eksekutif Yapeka Akbar Ario Digdo, manusia sudah bermukim di alur Sungai Subayang lebih dari 300 tahun. Kota Pekanbaru baru berusia 234 tahun.
Dengan label sebagai suaka margasatwa, semestinya seluruh aktivitas manusia harus dibatasi di sana. Muncul pertanyaan, apakah mungkin menyelamatkan harimau yang hampir punah itu dengan membiarkan manusia hidup berdampingan tanpa merusak hutan?
Itulah yang menjadi sasaran WWF, Yapeka, dan Indonesia Ecotourism Network (Indecon) yang tergabung dalam organisasi Imbau melakukan pendekatan kepada masyarakat di Rimbang-Baling sejak 2015. Imbau mengajak manusia di sana hidup berdampingan dengan alam.
WWF lebih terfokus pada perlindungan satwa langka terintegrasi. Adapun Yapeka melakukan pemberdayaan masyarakat dengan menyebar pengetahuan kepada murid di sekolah, mengintensifkan kebun karet warga, dan mencari alternatif mata pencarian. Sementara Indecon membantu pengembangan ekowisata yang dapat dijual kepada wisatawan.
Dengan bekal keindahan alam, potensi pariwisata di Rimbang-Baling kini menggeliat. Beberapa spot wisata, seperti Air Terjun Batu Dinding di Desa Tanjung Belit, wisata batu belah di Desa Batu Songgan, dan panen ikan mencokau di seluruh desa sudah menjadi agenda wisata yang menarik di Riau. Beberapa penginapan (homestay) dan perkemahan telah tersedia untuk wisatawan yang ingin bermalam di sana.
Pada intinya, Imbau mengajak masyarakat beraktivitas dan berkegiatan ekonomi di luar area hutan. Dengan demikian, si belang dibiarkan aman berkeliaran di bentang hutan alam yang indah tanpa gangguan. Mudah-mudahan misi berat itu dapat terlaksana. (Syahnan Rangkuti)