PONTIANAK, KOMPAS - Penangkapan tenaga kerja Indonesia ilegal kerap terjadi di Kalimantan Barat. Selama Januari hingga 18 September 2018 terungkap 31 kasus. Jumlah korbannya 127 orang yang meliputi 74 laki-laki, 40 perempuan, dan 12 anak. Mereka nekat berangkat ke Malaysia meskipun berisiko tinggi karena alasan impitan ekonomi.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Kalbar Komisaris Besar Arif Rachman, Kamis (20/9/2018), mengungkapkan, para TKI ilegal itu umumnya dari Sulawesi Selatan. Di tempat asal, mereka umumnya bekerja serabutan.
Ada yang buruh tani, buruh bangunan, bahkan penganggur.
”Yang menjadi tukang bangunan tidak bisa bekerja setiap hari.
Mereka ada penghasilan saat ada proyek saja. Bagi yang menjadi petani dan buruh tani, mereka bekerja dari pagi hingga sore hanya mendapatkan upah Rp 50.000. Apalagi yang penganggur. Itu sebabnya mereka nekat ke Malaysia,” ujarnya.
Sebelumnya, Polda Kalbar menggagalkan pengiriman 32 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal Sulsel ke Malaysia, Selasa (18/9), di Bandara Internasional Supadio, Pontianak. Mereka akan dipekerjakan di perkebunan sawit (Kompas, 20/9).
Mereka juga nekat ke Malaysia karena tergiur cerita tetangga dan orang-orang terdekat yang lebih dulu bekerja di Malaysia bahwa di negeri jiran mereka bisa memperoleh gaji sekitar 1.500 ringgit atau setara Rp 4 juta per bulan. Itu sebabnya, mereka rela meminjam uang kepada orang lain guna memenuhi permintaan calo untuk biaya tiket, dokumen perjalanan, dan lain-lain.
Padahal, berdasarkan hasil penyelidikan Polda Kalbar, semua pengeluaran sejak awal perekrutan hingga diserahkan kepada majikan di Malaysia biasanya terakumulasi. Biaya itu kemudian dibebankan kepada majikan saat perekrutan. Oleh majikan, biaya ini akan dipotong dari gaji pekerja setiap bulan.
Itu sebabnya, gaji mereka tidak dibayar utuh oleh majikannya.
TKI hanya akan dibayar sekitar 1.500 ringgit per bulan. ”TKI banyak yang tidak mengetahui hal itu. Selain itu, jika mereka bekerja di sana, mereka akan tinggal di barak yang sebetulnya tidak lebih bagus daripada tempat tinggal di daerah asalnya. Risiko juga besar, misalnya uang bisa saja dicuri oleh sesama pekerja sehingga kerja keras mereka bisa sia-sia,” tutur Arif.
Nurinsani (29), TKI ilegal, ditemui di tempat penampungan milik Dinas Sosial Kalbar, mengatakan, ia berangkat bertujuh bersama keluarganya. Mereka berasal dari Kecamatan Bissappu, Kabupaten Bantaeng. Di tempat asal, dia bekerja sebagai butuh tani dengan penghasilan rata-rata Rp 50.000 per hari.
”Kalau sedang musim kering, tidak ada pekerjaan. Sementara saya harus membiayai anak saya yang masih SD kelas IV. Maka, saya berangkat ke Malaysia. Anak saya yang masih sekolah saya tinggalkan bersama ibu saya di kampung,” kata Nurinsani.
Begitu pula Sunggu (47), TKI ilegal lain. Perempuan asal Bantaeng itu harus bekerja keras sepeninggal suaminya.
Anaknya masih ada yang kuliah dan perlu banyak biaya. ”Saat anak perlu biaya, saya menjual kebun. Namun, tidak bisa terus-terusan seperti itu. Maka, saya harus mencari pekerjaan,” kata Sunggu.
Bahkan, salah satu anaknya sudah lebih dulu bekerja ke Malaysia setahun terakhir. Menurut rencana, saat tiba di Malaysia, ia akan bekerja bersama anaknya karena hasilnya menjanjikan. ”Saya tidak tahu prosedur keberangkatan yang legal seperti apa. Saat diajak ke Malaysia, saya ikut saja,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menilai, kasus TKI ilegal menunjukkan, lapangan kerja yang tersedia di dalam negeri tidak mampu menampung angkatan kerja yang ada. Kalaupun ada lapangan kerja, kualifikasi angkatan kerja tidak sesuai dengan kebutuhan. Solusi jangka pendek pemerintah adalah perlu mengoptimalkan program infrastruktur padat karya. Untuk jangka panjang, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. (ESA)