Sebelum lahir konsep modern pengelolaan terpadu pada daerah aliran sungai, yakni ”one river, one plan, one management”, sekitar abad ke-13, leluhur Sunda sudah menyusun ilmu patanjala. ”Patan” artinya air dan ”jala” adalah sungai atau wilayah yang harus dipelihara dan dilestarikan.
Alunan alat musik tradisional Sunda, karinding, mengusik hati saat mengiringi rajah (nyanyian doa) di Bukit Tanjung, Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Jumat (31/8/2018). Gelar budaya para sukarelawan lingkungan dari aleutan (komunitas) pangauban (perlindungan) Sungai Cimanuk Hulu, Cimanuk Tengah, dan Cimanuk Hilir ini merupakan rajah tradisi menelusuri peradaban Cimanuk Marigi Deui (Cimanuk Berjaya Lagi) yang alirannya kini menjadi Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang.
Melalui patanjala sebagai konsep pengelolaan alam dan sosial, pergerakan budaya itu dimaksudkan untuk memperingati tiga tahun tergenangnya Waduk Jatigede. Di waduk seluas lebih dari 4.100 hektar tersebut tergenang lahan dan perkampungan di 32 desa sejak Agustus 2015.
Waduk dengan luas daerah aliran sungai 1.462 kilometer persegi ini bisa mengairi sawah seluas 90.000 hektar di Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Majalengka yang selama ini tergolong sawah tadah hujan. Lebih dari 1,1 juta petani bisa memperoleh manfaat dari keberadaan waduk ini.
Atraksi budaya itu juga untuk mengingatkan para penentu kebijakan tentang penyelesaian masalah sosial bagi 11.469 keluarga warga Jatigede yang harus meninggalkan tanah leluhur. ”Waduk Jatigede bisa menyejahterakan petani di hilir Cimanuk, namun pengorbanan warga terdampak juga harus diselesaikan secara adil,” ujar M Nurcahya, Ketua Himpunan Alumni Pemuda Pelopor Pembangunan Kabupaten Indramayu.
”Kami berusaha mengarsipkan sejarah Jatigede sekaligus melanjutkan catatan sejarah yang sudah ditetapkan para leluhur di Sungai Cimanuk,” kata Rachmat Leuweung (40) dari Komunitas Cimanuk Hulu. Bersama Rudi Bratamanggala (37) dari Paguyuban Keuyeup Bodas (Cimanuk Tengah), Rachmat mengoordinasikan para sukarelawan menyusuri patanjala Sungai Cimanuk yang telah berubah jadi bendungan Jatigede.
Mereka menanam pohon-pohon endemik di hutan-hutan leluhur sesuai kondisi asal. Pohon-pohon itu nantinya akan menjadi pembatas alam antara hutan tutupan dan hutan larangan (hutan lindung) serta kawasan baladahan (lahan budidaya/pertanian).
Patanjala
Patanjala merupakan kearifan lokal Sunda untuk menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai. Patan artinya air dan jala adalah sungai atau wilayah yang harus dijaga karena merupakan kabuyutan (situs leluhur). Sebelum lahir konsep pengelolaan daerah aliran sungai modern, one river, one plan, one management, karuhun (leluhur) Sunda sudah membagi wilayah itu menjadi empat kawasan, yakni walungan (sungai induk), wahangan, solokan, dan susukan (sungai-sungai kecil) atau subdaerah aliran sungai (sub-DAS).
Para sukarelawan lingkungan mengarsipkan berbagai peristiwa serta ketinggian air Jatigede dari masa ke masa. Arsip berupa foto dan dokumen berjumlah cukup banyak. Menurut Rachmat, ada sebuah ketetapan leluhur yang dipetakan melalui sebaran situs di kawasan Jatigede. Di antaranya ada 24 situs berupa dongeng panyelang (kisah penyela pada cerita yang utuh) pada sejarah Cimanuk Marigi Deui.
Kalau dilihat secara sederhana, sebaran situs seperti bentuk senjata tradisional Sunda, yakni kujang. Situs yang dibuat oleh karuhun adalah suatu sistem tata wilayah dan tata air. ”Situs-situs itu memuat pesan leluhur, silakan dibendung, tetapi rakyat harus disejahterakan. Ada juga pesan bahwa situs dan hutan tidak boleh diganggu,” kata Rachmat.
Dalam tradisi Sunda, situs leluhur dianggap sebagai kabuyutan yang harus dijaga, dipelihara atau dilestarikan. DAS Cimanuk dan Citarum termasuk kabuyutan Sunda. Dalam naskah Galunggung disebutkan, siapa yang tidak biasa memelihara kabuyutan, derajatnya leuwih hina tibatan kulit lasun di jarian (lebih buruk dari kulit musang yang dibuang di tempat sampah).
Mengutip catatan sejarah Kerajaan Sunda, Rachmat menjelaskan, patanjala ditemukan di Situs Ciburuy di kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut. Di situs Ciburuy ada delapan naskah yang disebut Amanat Galunggung. Naskah-naskah itu dibuat oleh Eyang Prabu Darmasiksa, raja di Kerajaan Sunda, pada abad ke-13.
Patanjala terkait dengan pengaturan kawasan yang disebut leuweung larangan (hutan lindung). Hutan ini tidak hanya terdapat di hulu sungai, tetapi juga ada di tengah dan di hilir sungai. Tugas Aleutan Cimanuk juga menentukan tata wilayah peninggalan leluhur sesuai catatan sejarah. Seperti karuhun dulu menetapkan, suatu wilayah ada hutan larangan girang (hulu), larangan tengah, dan hilir.
Melalui kearifan lokalnya, leluhur orang Sunda juga sudah menetapkan kawasan hutan alam, yakni leuweung larangan, leweung tutupan, dan lahan baladahan. Hanya kawasan baladahan yang boleh dijadikan lahan budidaya pertanian karena letaknya paling bawah, topografinya relatif datar, dan lahannya paling luas.
Jatigede
Tokoh Sunda dari Majelis Cendekiawan Keraton Nusantara, Darma S Natarapraja (69), menyatakan, patanjala merupakan konsep pengelolaan air mengingat air merupakan sumber kehidupan masyarakat di Tatar Sunda. Karena itu, penghormatan leluhur Sunda terhadap air sangat tinggi. Hal itu diwujudkan dengan memberi nama-nama tempat dengan sebutan awal ci (air), misalnya Cianjur, Ciamis, Cirebon, Cibadak, atau Cicurug (air terjun).
Dulu, air dari hulu Sungai Cimanuk hingga ke hilir di Indramayu sangat bersih. Airnya mengalir ke sawah-sawah menghidupkan tanaman padi untuk pangan. Namun, sekarang, sungai menjadi tempat pembuangan sampah, botol plastik, dan air limbah kimia pabrik.
”Kini tidak ada lagi penghormatan terhadap air. Jutaan orang membuang sampah ke sungai sehingga air menjadi kotor dan beracun,” ujar Darma.
Karena itu, gelar budaya patanjala merupakan peringatan terhadap semua pihak agar kembali menghormati air.
”Apa yang harus dilakukan sekarang adalah mengelola air yang ada di hadapan kita. Air Cimanuk merupakan anugerah yang tak ternilai bagi kehidupan masyarakat,” ucapnya.
Gerakan alami budaya Jatigede yang dilakukan seuweu siwi (anak cucu) Cimanuk harus terus mengalir seperti air telaga.
Patanjala dijadikan wadah kegiatan yang positif agar tanah air bisa diwariskan kepada anak cucu. Patanjala adalah ilmu adiluhung yang universal untuk menjaga kelestarian alam dan air.