SURABAYA, KOMPAS – Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, meminta pemerintah mengkaji ulang sistem zonasi rujukan pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Nomor 4 Tahun 2018. Aturan tersebut dinilai merugikan pasien dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.
“Surat keberatan sudah disiapkan dan akan dikirim kepada Menteri Kesehatan dan Direktur Utara Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Senin (24/9/2018),” kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkot Surabaya Muhammad Fikser, Sabtu (22/9/2018).
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita menuturkan, dalam aturan yang baru tersebut, puskesmas yang merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama tidak bisa lagi bisa memilih rumah sakit rujukan untuk pasien. Rujukan harus melalui proses yang lebih panjang karena harus dilakukan secara berjenjang mulai dari tipe rumah sakit (RS) terendah lalu naik ke tingkat di atasnya.
Dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas dan klinik, pasien harus dirujuk terlebih dahulu RS tipe D. Jika RS tipe D sudah terisi lebih dari 80 persen, pasien baru bisa dirujuk ke RS tipe C. Begitu pula jika RS tipe C penuh, pasien baru bisa dirujuk ke RS tipe B.
Sistem rujukan ini dilakukan secara daring dan mulai diuji coba secara bertahap sejak 15 Agustus 2018 dan akan diterapkan secara penuh pada 1 Oktober 2018. Adapun di Surabaya, sistem rujukan berbasis zona ini sudah terkunci secara sistem sejak Sabtu.
Akibatnya selama satu hari ini banyak pasien di puskesmas mengeluhkan sistem tersebut karena harus dirujuk di rumah sakit tipe D yang lokasinya jauh. Pasien juga harus berkeliling ke sejumlah RS terlebih dahulu sebelum bisa ditangani di RS tipe B yang fasilitasnya lebih memadai dan keberadaan dokter spesialis yang lebih lengkap.
Menurut Febria, penanganan pasien dinilai lebih efektif dan efisien waktu jika langsung ke rumah sakit tipe C atau B yang memiliki kemampuan yang memadai sesuai jenis penyakit yang harus ditangani. “Aturan ini bertentangan dengan Permenkes Nomor 1 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan tingkat pertama bisa merujuk ke rumah sakit sekunder (tipe B, C, dan D) dan tersier (RS tipe A),” ucapnya.
Oleh sebab itu, mulai hari ini pula, 63 puskesmas di Surabaya belum menerapkan sistem rujukan zonasi berbasis daring. Dinas Kesehatan Surabaya melaksanakan rujukan manual kepada 40 RS di Surabaya yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan agar bisa memilih rumah sakit rujukan sesuai kebutuhan pasien.
“Kami berharap aturan zonasi ini dibatalkan sebelum diterapkan secara penuh bulan depan karena merugikan pasien. Mereka harus berkeliling mengikuti rujukan terlebih dahulu dan melewati antrean yang panjang,” ucap Febria.
Di Surabaya, dari 40 RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, hanya ada 10 RS tipe D dengan kapasitas tempat tidur masing-masing rumah sakit antara 50 hingga 100 buah. Sedangkan RS tipe C ada 16 unit, RS tipe B 11 unit, dan 3 RS tipe A. “Lokasi dari RS tipe D dan C masih belum merata dengan peralatan yang masih terbatas,” katanya.
Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia Jatim Dodo Anondo mengatakan, langkah yang dilakukan Pemkot Surabaya merujuk pasien secara manual hanya bisa dilakukan sebelum aturan diterapkan secara penuh. Mulai 1 Oktober, hal itu tidak bisa dilakukan karena BPJS tidak bisa membayar premi pasien yang tidak dirujuk secara daring.
“Jika aturan zonasi ini diterapkan secara penuh, mulai bulan depan dipastikan akan banyak antrean di RS tipe D. Kendalanya pasti bermunculan karena kemampuan RS tipe D masih terbatas,” ucapnya.