Fenomena Gunung Es, Anak Laki-laki Semakin Berpotensi Menjadi Korban
BALIKPAPAN, KOMPAS — Anak laki-laki semakin berpotensi menjadi korban kekerasan seksual daripada anak perempuan. Survei oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2013 sudah menunjukkan hal itu.
Kekerasan tersebut merupakan sebuah fenomena gunung es. Diyakini bahwa lebih banyak korban anak laki-laki yang tidak melapor. Kasus Pandu di Balikpapan bisa menjadi contoh untuk dicermati.
Dalam survei oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2013, yang dibantu Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi kekerasan seksual terhadap anak laki-laki sebesar 8,1 persen, sedangkan prevalensi terhadap anak perempuan 3,6 persen.
Pemerhati masalah kekerasan terhadap anak dan perempuan Helga Worotitjan, Selasa (25/9/2018), mengatakan, ketika anak laki-laki korban kekerasan seksual semakin mempunyai kesadaran untuk melapor, itu merupakan hal yang bagus.
Hasil survei itu mengingatkan kembali kepada publik bahwa ada kecenderungan semakin banyak korban anak laki-laki.
Sayangnya, di tengah masyarakat, masih kuat anggapan anak perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Anggapan tersebut, menurut Helga, tidak hanya menambah kecemasannya, tetapi juga berbahaya. Sebab, bisa jadi, anak laki-laki korban kekerasan seksual akan disepelekan dan dianggap tidak penting.
Anak laki-laki korban kekerasan seksual bisa jadi menggambarkan fenomena gunung es, yang berarti jumlah korban yang terdeteksi (melapor) hanya sebagian kecil dari jumlah korban sebenarnya. Publik pun tersentak-sentak ketika satu demi satu kasus terungkap.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang menyeret Pandu Dharma Wicaksono (21) di Balikpapan, hingga divonis 12 tahun penjara, pekan lalu, menjadi kasus menarik untuk dicermati. Sebab, yang menjadi korban Pandu selama tahun 2013-2017 sebanyak sembilan laki-laki, dengan enam orang masih termasuk usia anak.
Budaya patriarki
Pribudiarta Nur, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan, ada budaya patriarki yang masuk ke fenomena kasus kekerasan seksual terhadap anak laki-laki. Masyarakat melihat, anak laki-laki seharusnya tahan banting.
”Anak laki-laki dianggap tidak boleh mengeluh, tidak boleh menangis, bahkan tidak boleh curhat. Korban (anak laki-laki) pun akhirnya banyak yang enggak mau mengadu. Ini berbeda dengan perempuan yang lebih banyak ruang untuk mengadu,” ujar Pribudiarta.
Dia pun melihat, bisa jadi ini merupakan fenomena gunung es. Semua pihak perlu bekerja keras agar anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual berani melapor. Survei tersebut, menurut Pribudiarta, dilakukan lima tahun sekali. ”Tahun ini masih berlangsung surveinya,” ujarnya.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, pekan lalu, menjatuhkan vonis penjara 12 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan terhadap Pandu atas kasus pencabulan terhadap anak. Pihak Pandu langsung mengajukan banding.
Kasus ini terbilang kompleks dan menguras banyak energi pihak-pihak pemerhati kasus kekerasan terhadap anak. Pandu termasuk tokoh idola generasi muda, dengan sederet prestasi sejak duduk di bangku SMP. Sebelum putusan vonis 12 tahun penjara tersebut, banyak pihak waswas jika hakim hanya menjatuhkan vonis ringan.
Pandu ditangkap di tempat kosnya di Yogyakarta pada pertengahan September 2017. Publik pun terkejut. Pandu, yang tercatat sebagai mahasiswa kampus terkenal di Yogyakarta, saat itu merupakan Presiden Green Generation Indonesia, organisasi nonprofit yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Pandu adalah pendiri organisasi itu. Saat masih di bangku SMA, Pandu pernah menjabat Ketua Forum Anak Balikpapan.
Kasus ini terbilang kompleks dan menguras banyak energi pihak-pihak pemerhati kasus kekerasan terhadap anak. Pandu termasuk tokoh idola generasi muda.
Setelah kejadian itu, hingga sebelum vonis pengadilan, ”perang” di jagat maya antara kubu yang pro dan kontra terus berlangsung.
Menurut Helga, kasus Pandu ini spesifik dan menarik untuk dicermati karena menggambarkan banyak hal terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak serta strategi penanganannya.
Kubu Pandu langsung mengajukan banding atas vonis tersebut. Achmed Mabrur Thabrani, salah satu pengacara Pandu, yakin kliennya tidak bersalah dan itu akan dibuktikannya. Pekan lalu, sesaat sebelum masuk ke ruang sidang, Pandu juga mempertanyakan ada apa di balik kasus yang mendadak menyeret dirinya tersebut.
Tri Hendro Puspito, yang juga pengacara Pandu, mengeluhkan tentang kliennya yang telanjur diberi cap ”predator anak” dalam banyak pemberitaan, juga yang tersebar melalui media sosial. Menurut dia, hal itu diyakini ikut memengaruhi majelis hakim dalam memberikan vonis terhadap Pandu, yang sama persis seperti tuntutan jaksa.