Jumlah petani dari kalangan muda saat ini tidak lebih dari 20 persen. Ini perlu dibenahi lewat pendidikan agar regenerasi petani bisa optimal.
YOGYAKARTA, KOMPAS Minat kaum muda terhadap sektor pertanian masih rendah. Hal itu diduga akibat minimnya pengenalan terhadap sektor ini sehingga generasi muda pun kurang meminati. Kondisi itu membuat regenerasi petani melambat. Karena itu, perlu pengenalan melalui pendidikan dasar hingga menengah guna mendekatkan mereka dengan pertanian agar kelak mereka mau menjadi petani.
”Kaum muda yang mau bertani dan bangga menjadi petani harus terus dikampanyekan. Pemerintah perlu ikut serta mengampanyekan hal itu juga,” kata Ketua Umum Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia Satrio Damardjati dalam Musyawarah Kerja Nasional Petani 2018 bertema ”Membangun Pilar Kedaulatan Pangan Nasional Petani”, yang digelar di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (24/9/2018).
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Petani Jawa Tengah Dumadi Tri Restiyanto menilai, selama ini, terdapat kecenderungan generasi muda merantau dari desa ke kota agar bisa bekerja demi memperoleh penghasilan. Pertanian ditinggalkan karena dipandang sebagai suatu hal yang tidak menguntungkan. ”Jadi, hal penting yang harus dilakukan sekarang adalah menunjukkan kepada anak-anak muda bahwa pertanian itu menguntungkan. Namun, ada prosesnya. Tidak bisa instan,” ujar Dumadi.
Kelemahan pendidikan
Dihubungi terpisah, Guru Besar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Susetiawan menjelaskan, pertanian dianggap tidak menguntungkan bagi generasi muda yang tinggal di desa karena mereka tidak mengenal hal itu.
Akibatnya, saat ini, petani berusia tua lebih banyak daripada yang berusia muda. Generasi muda dari desa lebih memilih merantau ke kota meskipun hanya menjadi buruh.
Kondisi ini, menurut Susetiawan terjadi karena sistem pendidikan dasar hingga menengah tidak memuat pengetahuan lokal mengenai pertanian dan aset ataupun potensi yang dimiliki desa. Hal itu membuat anak-anak yang tumbuh di desa seakan dijauhkan dari desanya, lalu berorientasi ke kota.
”Sebenarnya, konsep pendidikan kita tidak pernah mengakomodasi pengetahuan lokal kepada anak-anak didik di tingkat awal sehingga orientasinya ke kota. Lalu, untuk berpikir kreatif tentang sumber dan potensi yang ada di desa pun tak bisa. Dengan demikian, sekarang itu petani banyak yang tua,” kata Susetiawan.
Untuk mendorong regenerasi petani, yang dapat dilakukan adalah mendekatkan generasi muda dengan pertanian melalui pendidikan dasar hingga menengah. Tujuannya agar anak itu mengenal pertanian dan tidak selalu berorientasi untuk merantau ke kota. Namun, hal itu tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.
”Untuk knowledge itu, prosesnya tidak hanya sesaat. Harus panjang. Jika pengetahuan lokal tentang pertanian ada di pendidikan dasar dan menengah, mereka akan berpikir tentang desanya. Hal yang lebih besar, ketika mereka berkuliah, orientasi mereka pun mendapatkan ilmu yang digunakan untuk memajukan desanya sesuai potensi yang ada,” papar Susetiawan.
Kepala Dinas Pertanian DI Yogyakarta Sasongko mengungkapkan, sektor pertanian sawah masih didominasi petani berusia tua. Ia memperkirakan, jumlah petani muda hanya ada sekitar 20 persen dari semua petani yang ada di wilayah DI Yogyakarta.
”Memang generasi muda yang mau bergerak di pertanian semakin terbatas. Sementara itu, produk pertanian terus dibutuhkan. Karena itu, sawah-sawah yang ada ini harus tetap ada yang mengerjakan,” kata Sasongko.
Upaya yang dilakukan oleh Dinas Pertanian DI Yogyakarta dalam mendorong generasi muda mau bertani adalah dengan memodernisasi alat-alat pertanian. Ada bantuan yang diberikan berupa alat-alat pertanian, seperti traktor beroda empat, alat tanam (planter), dan alat memanen padi (crown combine harvester).
”Ternyata hal ini cukup menarik generasi muda. Terjadi peningkatan anak muda yang mau bertani sedikit demi sedikit.
Sebab, kerja pertanian menjadi lebih cepat dan menguntungkan. Anak-anak muda pun mulai mau untuk terjun menjadi petani,” kata Sasongko. (NCA)