Solidaritas Penyelamatan Kerinci
Gunung Kerinci di Jambi menghadapi masalah sampah. Para petani kopi pun bergerak untuk mengatasi persoalan itu demi menjaga kelestarian ”atap” Sumatera.
Pendakian Gunung Kerinci menjadi perjalanan terberat tahun ini bagi Heri Gunawan (22). Bukan karena medan yang terjal menuju puncak, melainkan karena limbah yang berserakan di sepanjang jalur pendakian. Keindahan lanskap alam gunung berapi tertinggi di Indonesia itu pun seolah tertutup sampah.
Setelah berhasil menapak puncak di ketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut (mdpl), 18 Agustus 2018, perjalanan pulang semestinya lebih mudah. Biasanya, Heri turun gunung dengan setengah berlari, tetapi kali ini sulit. Ia harus berulang kali merunduk untuk memunguti sampah yang berceceran di lantai gunung.
Wadah plastik yang dibawanya pun dengan cepat penuh. Jika ditimbang, beratnya hampir 20 kilogram. Ia pisahkan botol-botol bekas dari jenis sampah lainnya agar wadah dapat menampung lebih banyak. Botol-botol itu dijalin dengan tali lalu dikaitkan pada ransel di punggungnya.
Baru menjelang siang ia berhasil mencapai pintu rimba di pos terbawah. Lega dan lelah menyatu. Namun, suramnya pemandangan di jalur pendakian menyisakan ketidaknyamanan.
”Alam gunungnya sangat indah. Jalurnya juga menantang. Sayang banget terlalu banyak sampah di atas sana,” ujar pendaki asal Medan itu.
Heri menyerahkan seluruh sampah yang dikumpulkan kepada Yani, petani kopi di kaki Gunung Kerinci. Setengah terharu, Yani melongok isi kantong besar itu. ”Terima kasih banyak sudah membantu kami membersihkan Gunung Kerinci,” katanya.
Ia pun memberikan sejumlah bungkusan berisi bubuk kopi. Petani lainnya, Fajrul Izmi, menyeduhkan kopi itu lalu membagikannya kepada Heri dan para pendaki lain. Mereka duduk bersama menyesap hangatnya kopi nan wangi.
Heri terbiasa memungut sampah setiap kali turun gunung. ”Memang sudah seharusnya begini. Kalau turun gunung, wajib bawa sampahnya turun juga,” ucapnya.
Bantuan pemuda itu akhirnya melipur kekhawatiran Yani, Fajrul, dan para petani kopi. Sejak sebulan terakhir, mereka merancang berbagai cara untuk mengatasi menggunungnya sampah.
Itu semua berawal saat seorang pendaki Kerinci asal Ceko, Michaela Kosobukina, merekam penjelajahannya di gunung itu. Hasil rekaman dibagikan kepada Erna Yunita, petani kopi sekaligus pemilik Pelangi Guest House, tempat Michaela menginap.
Erna kaget menyaksikan video itu. Gunung yang tampak indah dipandang dari teras penginapannya tak disangka-sangka penuh sampah.
Karena masih belum percaya, Erna pun meminta bantuan pendaki lain, pasangan asal Australia, Ashlee dan Isaac. Mereka turut mendokumentasikan jalur pendakian itu.
Hasilnya pun sama. Mulai dari gerbang pendakian hingga menuju puncak gunung, sampah tampak di mana-mana. Ashlee sampai menjuluki Gunung Kerinci sebagai tempat sampah tertinggi di Sumatera, bahkan mungkin di dunia.
Miris menyaksikan pemandangan sampah, Erna pun mengajak petani kopi mencari cara menyelamatkan gunung. Mereka sepakat membangun solidaritas. Sebanyak 5.000 bungkus kopi disumbangkan. Para petani itu tergabung dalam perkumpulan petani kopi Alam Korintji (Alko). Kopi-kopi hasil panen lokal menjadi imbal jasa bagi para pendaki yang membawa turun sampah dari Gunung Kerinci.
Semua sampah lalu dikumpul dan dipilah. Sampah plastik diolah menjadi bahan kerajinan tangan oleh para ibu PKK di Desa Jernih Jaya, Kecamatan Gunung Tujuh. Ada pula yang mengolahnya menjadi tas, topi, keranjang, dan tikar.
Titik rawan
Para peringatan Hari Kemerdekaan RI lalu, lebih dari 1.500 orang turut mendaki Gunung Kerinci. Semakin banyak pengunjung memenuhi jalur pendakian, semakin menggunung sampah. Sebab, tak sedikit pendaki membuang begitu saja sisa bawaan mereka.
Sampah sudah terlihat dari gerbang awal pendakian. Lalu, sampah akan semakin banyak menyebar mendekati pos dan selter peristirahatan. Tiga selter pendakian itu menjadi titik rawan sampah.
Yang terparah terletak di selter tiga pada ketinggian 3.291 mdpl. Pada selter terakhir menjelang puncak gunung, yang dipadati ratusan tenda, beragam jenis sampah berserakan.
Mulai dari botol minuman, bungkus bumbu, makanan, obat-obatan, hingga rokok. Ada pula jas hujan bekas dan pakaian bekas tersangkut di tepi jalan dan dahan pohon. Tak ketinggalan panci dan bekas peralatan memasak. Sejumlah pendaki tampaknya enggan membawa serta bawaannya turun gunung.
Wagiman (56), salah satu pemandu Gunung Kerinci, berulang kali harus mengingatkan para pendaki agar jangan meninggalkan sampah bawaannya di gunung. ”Nanti jangan lupa sampahnya dibersihkan. Jangan ada yang tertinggal,” katanya kepada para pendaki yang ia temui.
Beredarnya video sampah Gunung Kerinci dengan cepat memancing reaksi banyak orang. Di laman media sosial, tak sedikit yang memprotes aktivitas pendakian yang sudah terlalu masif. Banyak pula yang mengkritik belum optimalnya manajemen pengelolaan dan pengawasan di Gunung Kerinci.
Gunung yang menjadi bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat itu adalah ”atap” Sumatera. Puncak tertinggi gunung api di Asia Tenggara itu menjadi salah satu tujuan para pendaki dunia. Peluang besar ekowisata yang, sayangnya, belum diimbangi dengan ketersediaan fasilitas.
Untuk mendaki Gunung Kerinci, setiap pendaki dikenai retribusi. Namun, fasilitas pendukung masih minim. Tak ada rambu di sepanjang jalur pendakian. Kondisi itu memungkinkan pendaki mudah tersasar. Tidak ada pula tempat singgah di selter, apalagi toilet umum.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat Tamen Sitorus mengatakan, sampah sudah menjadi keprihatinan bersama. Tak hanya di Gunung Kerinci, tetapi juga di jalur pendakian gunung-gunung lainnya.
Pada Oktober, pihaknya akan menggelar bersih gunung di Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh. Soal telanjur banyaknya sampah di gunung, hal itu selayaknya dapat diolah.