BANJARNEGARA, KOMPAS — Festival Ujungan digelar di Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (26/9/2018) hingga Minggu (30/9/2018). Ujungan merupakan tradisi warga setempat untuk memohon hujan pada musim kemarau. Atraksi budaya itu digelar untuk melestarikan tradisi, sekaligus menarik pengunjung untuk berwisata ke desa.
”Tradisi ujungan ini sudah ada sejak saya kecil dan biasa dilakukan saat musim kemarau panjang lebih dari 3 bulan. Saat ini ujungan dikemas dalam rangkaian festival agar lebih menarik,” kata Kepala Desa Kemranggon Andi Setiawan, Rabu di Banjarnegara.
Ujungan biasa dilakukan di atas sawah yang kering. Ujungan berupa tari sekaligus pertarungan di antara dua lelaki dengan bersenjatakan rotan. Ujungan dilaksanakan pada Jumat (28/9/2018) dan kini diawali dengan kegiatan mengambil air suci dari mata air panas Pingit di Desa Gumelem Wetan, Susukan. ”Air itu dipercaya menyembuhkan dan nantinya akan diminum oleh para pemain ujungan,” ujar Andi.
Pada acara pengambilan air, air panas yang mengandung belerang itu dibawa di dalam kendi oleh 14 perawan sunthi. Para gadis remaja ini berdandan ayu dan berjalan gemulai mengambil air panas di mata air yang jaraknya mencapai 5 kilometer dari Desa Kemranggon.
Seniman Banyumas, Yusmanto, mengatakan, masyarakat setempat percaya orang yang belum berjodoh akan ringan jodoh setelah mandi di air panas itu. ”Air yang mengandung belerang ini juga berkhasiat menyembuhkan penyakit kulit. Selain itu, air ini juga dipercaya membuat orang awet muda,” ucapnya.
Dalam rangkaian Festival Ujungan, pada Kamis (27/9/2018) digelar pula arak-arakan 1.000 tenong atau wadah anyaman bambu berbentuk bundar dan biasa dipakai untuk membawa jajanan pasar dan takir. Takir berupa wadah makan dari daun pisang itu nantinya berisi nasi dan lauk-pauk serta akan dibagikan kepada ribuan warga sebagai salah satu bentuk syukur atas hasil bumi dan perayaan tahun baru Sura.
”Tradisi ujungan dilaksanakan hari Jumat setelah pukul 12 siang. Makna di balik ujungan itu adalah kontemplasi dengan alam. Dengan merasakan sakitnya terkena rotan, kita juga merasakan penderitaan alam,” papar Yusmanto.
Selanjutnya, pada Sabtu dan Minggu digelar pula kegiatan lomba dan atraksi budaya dari para murid sekolah dasar. Selain itu, ada juga pertunjukan wayang kulit untuk menyemarakkan festival.