Antikorupsi Lari Kencang, tetapi Tidak ke Mana-mana
Oleh
DODY WISNU PRIBADI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Jalan antikorupsi yang ditempuh pemerintah sudah benar, dengan memberikan kewenangan tindakan represif antikorupsi kepada multiagen KPK, kejaksaan, dan Polri. Namun, sebegitu jauh budaya antikorupsi dalam masyarakat masih cukup kuat.
Koruptor yang ditangkap tidak habis-habis. Gejala yang disebut treadmill. Upaya memberantas korupsi sudah berlari kencang, tetapi kenyataannya tidak ke mana-mana.
Demikian antara lain yang mengemuka pada acara talk show pemaparan hasil penelitian survei oleh Lembaga Survei Indonesia berjudul ”Tren Persepsi Publik tentang Korupsi, Afiliasi Organisasi Agama dan Demokrasi”. Survei dilaksanakan pada 1-7 Agustus 2018.
Peneliti LSI Ahmad Khoirul Umam mengatakan, Indonesia tergolong maju dalam sejarah kebijakan antikorupsi, di antara 3 kategori kebijakan antikorupsi yang diterapkan pemerintah negara-negara di dunia, yakni menerapkan banyak lembaga dalam aksi antikorupsi. Mayoritas negara, seperti China, India, serta Indonesia, melakukan ini.
Negara lainnya, hanya satu agen (misalnya Singapura, terutama dari kekuatan pribadi Lee Kuan Yew), Thailand, Hong Kong, Taiwan, dan Korea. Negara lainnya lagi hanya memiliki undang-undang antikorupsi, tetapi tanpa memiliki agen lembaga pemberantasan korupsi seperti Selandia Baru.
Umam menjelaskan, Indonesia sudah berada di jalur antikorupsi yang tepat. Hanya saja justru karena aksi antikorupsi melibatkan banyak pihak, lantas di Indonesia terjadi fenomena yang disangka sebagai tebang pilih dan tumpang tindih. Misalnya saat elit Polri dicoba dijerat KPK dengan UU Anti Korupsi, dengan seketika para petugas KPK kemudian menerima tuduhan dan dakwaan dari lembaga Polri, bahkan tindak pidana ringan sekalipun.
Meski demikian, sejarah KPK tetap merupakan sejarah besar sebagai buah Reformasi 1998. Hasil survei LSI menunjukkan, sekalipun kepercayaan masyarakat terhadap KPK tinggi, ada gejala bahwa jumlah pejabat yang tertangkap oleh aksi KPK seolah tak habis-habis. Jumlah koruptor patah tumbuh hilang berganti. Praktik korupsi terus terjadi.
LSI mendapati, penyebabnya karena budaya korupsi masih tumbuh dengan kuatnya. Survei menunjukkan, interaksi antara warga dan pegawai pemerintah paling banyak terjadi dalam mengurus kelengkapan administrasi publik (55,7 persen), pelayanan kesehatan (45,1 persen), sekolah negeri (28 persen), dan polisi (10,7 persen).
Probabilitas adanya tindakan korupsi oleh pegawai pemerintah paling besar terjadi ketika warga berurusan dengan polisi. Dari 10,7 persen warga yang berurusan dengan polisi, 33,7 persen pernah diminta memberi hadiah/uang di luar biaya resmi.
Ahmad Inung, pengajar Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Surabaya, membenarkan, budaya korupsi antara lain tumbuh dalam institusi ormas agama. Muncul aneka tafsir dalam persepsi keberagamaan di tingkat masyarakat dalam memahami pemberian yang sudah masuk kategori korupsi.
”Bahkan, ibadah tertentu bisa dipahami maknanya oleh pemeluk agama sebagai proses pencucian dari rasa bersalah atas praktik korupsi. Akar budaya ini yang kini harus terus-menerus dikelola dalam membentuk generasi muda antikorupsi di masa depan,” kata Inung.