Menolak Pasrah di Pandanlandung
Tidak zaman lagi menerima begitu saja program pembangunan desa dari pemerintah pusat. Di Desa Pandanlandung, warga menentukan sendiri jenis proyek yang sesuai kebutuhan mereka, yang dirancang dan diputuskan melalui musyawarah partisipatif.
Pascaskandal korupsi yang menjerat hampir seluruh anggota DPRD dan Wali Kota Malang periode 2003-2018, kinerja birokrasi menggeliat lagi. Selasa (25/9/2018), untuk pertama kali, pemerintahan baru Kota Malang—Pemerintah Kota Malang dan DPRD—bertemu dalam sidang paripurna penyampaian usulan wali kota atas perubahan anggaran kegiatan (PAK) 2018.
Pemerintahan itu benar-benar baru. Keduanya dalam masa transisi karena hampir seluruh anggota DPRD adalah anggota pergantian antarwaktu. Tak heran jika kebijakan pemerintahan (termasuk proses PAK 2018 dan perencanaan APBD Kota Malang tahun 2019) masih lambat dibuat.
Namun, eksekutif dan legislatif harus segera belajar. Belajarlah dari masyarakat desa yang mengalami proses serupa.
Sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masyarakat desa didorong berdaya dan menjadi subyek pembangunan. Tidak seperti paradigma lama bahwa desa hanya menanti kebijakan dari pusat. Mekanisme pemberdayaan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan sesuai UU Desa cukup baik. Itu bisa menjadi pembelajaran.
Bulan-bulan ini, desa sedang membuat perencanaan pembangunan desa. Itu sesuai Pasal 114 Peraturan Pemerintah (PP) No 43/2014 sebagaimana diubah dalam PP No 47/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa.
Pembangunan desa dibuat dalam mekanisme musyawarah desa (musdes) perencanaan rencana kerja pemerintahan (RKP) desa. RKP desa menjadi dasar penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa 2019.
RKP serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tidak datang tiba-tiba. Serangkaian kegiatan dijalani, mulai penjaringan usulan pramusyawarah dusun, musyawarah dusun, musyawarah perencanaan desa, verifikasi usulan, penyusunan RKP, penetapan RKP, hingga penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Musyawarah harus partisipatif, melibatkan masyarakat desa. Salah satu upaya meningkatkan partisipasi masyarakat adalah mengajak mereka hadir dalam musdes. Di sana, mereka bisa mengusulkan prioritas kegiatan bagi kampungnya.
Praktik desa
Sebagai contoh, Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, baru selesai menggelar musdes perencanaan pada 4 September 2018. Sehari sebelumnya, panitia keliling desa, mengingatkan warga agar hadir.
Hasilnya, musyawarah diikuti lebih dari 120 orang. Tahun sebelumnya, musdes hanya diikuti sekitar 80 peserta.
Di forum itu, masing-masing RW mengajukan usulan kegiatan agar menjadi prioritas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa 2019. Peserta musdes datang pukul 20.00 dan berdiskusi hingga tengah malam. Bahkan, warga berencana hadir pada musdes penetapan RKP akhir September ini. Pada musdes penetapan itu, usulan masyarakat akan disesuaikan dengan pagu anggaran dan masuk menjadi klausul program sebelum ditetapkan jadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Selain mewakili individu, peserta juga berasal dari lembaga kemasyarakatan desa (LKD), seperti PKK, dewan anak, karang taruna, dan lembaga pemberdayaan masyarakat desa.
Model perencanaan pembangunan di desa itu juga diimbangi dengan pengawasan program pembangunan secara langsung oleh masyarakat. Masyarakat diajak menjadi subyek pembangunan sebagaimana amanat UU Desa.
Untuk itu, Desa Pandanlandung membentuk tim pengawas pembangunan untuk setiap proyek yang menggunakan dana desa. Selama ini, model pengawasan pembangunan hanya dilakukan pelaksana kegiatan Desa Pandanlandung. pelaksana kegiatan bertugas memeriksa apakah spesifikasi dan volume bahan bangunan yang dibeli sesuai perencanaan. Pengawasan di lapangan tak selalu bisa diawasi pelaksana kegiatan. Itu sebabnya terkadang pengawasan tidak maksimal.
Tim pengawas dipilih warga dan bertanggung jawab atas kualitas hasil pembangunan. Pembentukan tim pengawas pembangunan itu, misalnya, terlihat dalam proyek pengaspalan jalan di RT 013 RW 003 Desa Pandanlandung.
Pengaspalan dilakukan terhadap jalan kampung sepanjang 560 meter dan lebar 2,75 meter dengan nilai proyek sebesar Rp 50 juta.
Pada saat rapat pembentukan panitia pengaspalan yang digelar masyarakat di lokasi proyek, disepakati dibentuk tim pengawas. Mereka bertugas memastikan volume dan kualitas aspal jalan sesuai perencanaan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Masyarakat bisa menyalurkan unek-unek dan kritik atas proses pembangunan kepada tim. Tim pengawas akan menjadi saluran warga untuk mengkritisi proses pembangunan desa.
Panitia pengaspalan disahkan dalam bentuk surat keputusan kepala desa. SK berakhir saat proyek pengaspalan jalan selesai. Panitia akan serah terima proyek pembangunan kepada masyarakat. Pada saat itulah pelaporan dan evaluasi dilakukan.
”Selama ini, model pengawasan pembangunan desa hanya dilakukan pelaksana kegiatan yang bertugas memeriksa apakah spesifikasi dan volume bahan bangunan yang dibeli sesuai perencanaan. Adapun pengawasan di lapangan tidak selalu bisa diawasi pelaksana kegiatan,” tutur Achmad Bagus Sadewa (25), pelaksana kegiatan Desa Pandanlandung.
Di desa itu, rata-rata setahun ada sembilan proyek pembangunan dengan dana lebih kurang Rp 500 juta. ”Pada proyek-proyek sebelumnya, belakangan biasanya akan terlihat masalah. Dengan model pengawasan langsung oleh masyarakat, harapannya tidak akan ada masalah saat proyek selesai. Sebab, ketika ada potensi masalah saat pembangunan, tim pengawas bisa meminta pelaksana kegiatan menambah volume atau mutu bangunan,” paparnya.
Mulyadi, anggota tim pengawas pengaspalan jalan di RT 013 Desa Pandanlandung, mengatakan, ia dan timnya mengawasi kualitas dan volume bangunan. ”Jangan sampai di lapangan bahan-bahan yang dibeli desa diambil oknum untuk kepentingan sendiri, misalnya, sehingga kualitas pembangunan berkurang,” katanya.
Menurut Iman Suwongso, Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa Pandanlandung, model pembentukan tim pengawas di setiap proyek kegiatan desa efektif mengontrol pemanfaatan dana desa. ”Terpenting adalah masyarakat diajak menjadi subyek pembangunan. Mereka diajak berpartisipasi pada pembangunan di desanya. Ini model pemberdayaan masyarakat yang lahir dari niat dan kebutuhan masyarakat sendiri,” katanya.
Model pengawasan berbasis masyarakat itu akan dijadikan acuan sistem tata kelola pembangunan desa (bahkan negara) berbasis pemberdayaan masyarakat. Inovasi itu segera ditetapkan menjadi peraturan kepala desa.
Di Pandanlandung, partisipasi aktif warga membuat pembangunan desa berjalan sesuai kebutuhan warga. Pengawasan juga menjauhkan pembangunan dari korupsi, kejahatan yang membuat pembangunan di Kota Malang tersendat. (DAHLIA IRAWATI)