Berbagi meski Sama-sama Susah
Di tengah kondisi serba terbatas dan terjepit segala kesulitan, sejumlah warga korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah memperlihatkan keluasan hati. Mereka tak segan berbagi dan saling membantu atas nama kemanusiaan dan solidaritas.
Terik matahari di jalan poros Palu-Kulawi di Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, memanggang udara, Senin (1/10/2018). Di depan mobil yang ditumpangi Kompas, melaju sebuah mobil Kijang tua berwarna biru kusam, berdempul di sana-sini.
Sesaat berhenti, di pintu belakang berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan ayam hidup dari dalam mobil. Ayam itu diberikan kepada warga yang mengungsi di pinggir jalan. Sejumlah pengendara motor yang menyaksikan pun ikut meminta.
Setelah satu demi satu ayam dikeluarkan dan berpindah tangan, mobil yang dikemudikan Gilang Setiawan (21) itu kembali melaju. Tak lama, mobil berhenti lagi dan mengulangi hal sama di tiap lokasi pengungsian.
”Ini bantuan pribadi, Pak,” ujar Gilang menjawab pertanyaan Kompas saat berhenti sejenak di sebuah tenda pengungsi di Desa Kotapulu, Kecamatan Dolo, Sigi.
Setelah 80 ayam hidup yang dibawa habis, Gilang kembali ke rumahnya yang juga berlokasi di desa itu. Saat ayam terakhir diberikan, masih ada warga yang belum kebagian. ”Tunggu ee, Kita mo bale ulang (tunggu ya, nanti kami kembali lagi),” ujar Gilang.
Gilang adalah anak peternak ayam potong yang berinisiatif membagikan ayam ternaknya kepada warga di Kotapulu. Hal itu dilakukan karena hingga hari keempat pascagempa bermagnitudo 7,4 pada 28 September lalu belum ada bantuan untuk korban gempa di Dolo. Daerah itu tak jauh dari Kota Palu.
”Kami hanya berusaha berbagi apa yang kami bisa. Namanya kita sama-sama sedang susah begini,” ujar Gilang.
Bantuan sekecil apa pun sangat berarti bagi korban gempa yang saat ini masih kesulitan memenuhi berbagai kebutuhan dasar. Bukan hanya bagi mereka yang harta bendanya musnah akibat bencana, bantuan kebutuhan pokok juga diperlukan warga yang masih memiliki simpanan uang.
Lumpuh
Penyebabnya, sebagian besar layanan publik dan perniagaan di wilayah Palu, Donggala, dan Sigi, yang terdampak parah akibat gempa dan tsunami, masih lumpuh. Listrik padam, layanan air bersih dari PDAM pun tiada.
Mayoritas toko dan pasar, terutama di Palu yang menjadi pusat perekonomian Sulteng juga masih tutup. Kalaupun ada yang buka, jumlahnya sangat terbatas. Bahan bakar pun menjadi barang langka.
Gilang mengatakan, sebenarnya banyak peternak ayam lain di sekitar daerah itu. Namun, kebanyakan kandang mereka hancur total saat gempa, Ayam-ayam beserta kandangnya tertimbun. Kandang peternakan milik keluarga Gilang termasuk sedikit yang beruntung karena lolos dari kerusakan parah.
”Ayam juga selamat. Tapi, melihat kondisi semua masih lumpuh, termasuk pusat penjualan pakan ternak di Palu hancur, ayam ternak tidak bisa dikasih makan. Daripada ayam mati sia-sia, lebih baik kami bagikan kepada warga yang membutuhkan,” kata Gilang.
Ayam yang dibagikan itu adalah ayam siap potong berberat rata-rata 2 kilogram. Sebenarnya, keluarga Gilang tak akan sulit menemukan pembeli jika mereka mau menjual ayam seharga Rp 50.000 per ekor itu. Namun, mereka memilih membagikan secara cuma-cuma karena melihat banyak warga yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan setelah bencana.
Rela berbagi
Inisiatif-inisiatif saling berbagi dan solidaritas antarkorban gempa banyak bermunculan dalam bentuk lain. Amalia (40), misalnya, pemilik warung kelontong di Desa Kotapulu, tak ragu untuk memberikan barang dagangannya, seperti beras dan mi instan untuk kebutuhan posko pengungsian di desa itu.
Setelah dia berikan semua beras persediaannya, dia baru sadar kalau tidak menyisakan beras untuk keluarganya sendiri.
”Tapi, saya tidak ada rasa menyesal sedikit pun. Saya bersyukur keluarga kami masih diberikan keselamatan. Banyak orang kehilangan keluarganya,” tuturnya.
Kebajikan yang sama juga dilakukan Ni Made Suriyani. Dia membuka pintu rumahnya untuk warga yang membutuhkan air bersih. Saat disambangi di rumahnya, Senin, antrean panjang warga yang ingin mandi dan mengambil air tampak di samping rumahnya. Sebagian bahkan membawa cucian.
Di bagian belakang rumahnya, tampak air jernih mengucur cukup deras dari sebuah pipa. Sumber air itu baru muncul setelah gempa. Selama beberapa tahun, pipa ini kering meski sudah digali hingga kedalaman 34 meter.
”Saya anggap ini air berkat. Maka, saya biarkan siapa pun datang mengambil air di rumah saya. Semua orang butuh air dan hanya ini yang bisa saya bagi. Tidak pernah saya batasi sepanjang tertib,” kata Suriyani.
Kerelaan Gilang, Amalia, dan Suriyani berbagi meski sama-sama susah seolah menjadi secercah sinar penyemangat di tengah kelabu duka ini.
(Mohamad Final Daeng/Reny Sri Ayu)