AMBON, KOMPAS - Kepala Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Maluku Hasan Slamat mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menertibkan tambang liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Tujuh tahun sudah penambangan berlangsung, namun pemerintah dengan segala kewenangan serta dukungan aparat keamanan tidak berhasil menutup tambang itu secara total.
Tambang Gunung Botak mulai beroperasi pada tahun 2011. Puluhan kali ditutup, puluhan kali pula penambang kembali ke sana. Salain membelah bukit, penambang mengolah emas menggunakan merkuri dan sianida. Pengolahan dilakukan di sungai dan pemukiman penduduk sehingga menimbulkan pencamaran lingkungan yang sangat parah.
"Pemerintah sudah mengetahui dampak apa yang akan ditimbulkan pada masa yang akan datang. Saya sangat sedih melihat kondisi ini," kata Hasan saat terhubung dengan Kompas melalui telepon. Hasan bersama tim dari Ombudsman Maluku sedang berada di Pulau Buru untuk menggali informasi tentang tambang liar tersebut.
Menurutnya, ada ketidakberesan dalam tubuh pemerintah termasuk aparat keamanan yang bertugas di sana. Selain penambangan ilegal, jual beli merkuri dan sianida juga berjalan dengan bebas di sana. Padahal, aparat keamanan berseliweran di sana. "Masalah, aparat kita serius atau tidak. Punya komitmen atau tidak," ujarnya.
Sepulang dari Buru nanti, mereka akan menelaah temuan di lapangan untuk dibuatkan rekomendasi kepada pemerintah daerah maupun laporan ke pemerintah pusat. "Kalau ini didiamkan saja, kita akan menuai kehancuran nanti. Generasi kita akan menerima dampaknya," katanya.
Yusthinus T Malle, dosen kimia dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura yang dihubungi secara terpisah mengatakan, pencemaran di Pulau Buru semakin parah. Hasil penelitian Yusthinus pada tahun 2015 menunjukkan sebagian warga sudah terpapar merkuri. "Kondisi sekarang semakin parah tentunya," ucap dia.