MAGELANG, KOMPAS — Relief atau ukiran yang ada di berbagai benda cagar budaya, terutama candi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, kini banyak dipakai untuk motif batik. Dengan kreativitas para perajin, berbagai relief itu pun bisa berkembang menjadi motif-motif batik modern dan unik.
Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY Wiwit Kasiyati mengatakan, selama lima tahun terakhir, pihaknya mendampingi tiga desa di Kalasan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, untuk membuat dan mengembangkan motif-motif batik dari relief tiga candi yang ada di sekitarnya.
Dari upaya itu, menurut dia, muncul motif-motif baru yang belum pernah ada sebelumnya.
”Warga di tiga desa itu akhirnya berhasil membuat motif-motif baru dan unik, antara lain motif raksasa Batara Kala dan motif Kinara Kinari,” ujarnya saat ditemui di sela-sela acara Youth Celebrate Batik Day yang diselenggarakan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan Citi Indonesia di Galeri Komunitas di Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (2/10/2018).
Tiga desa itu ialah Desa Bokoharjo yang mengambil inspirasi dari Candi Banyunibo, Desa Sambirejo yang mengambil inspirasi relief dari Desa Candi Ijo, dan Desa Tirto dengan inspirasi relief bersumber dari Candi Kalasan. Dalam upaya pendampingan ini, Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY juga membantu memberikan pelatihan yang pada akhirnya juga menumbuhkan banyak perajin batik di tiga desa itu.
Tidak sekadar memancing kreativitas dan membantu melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, menurut Wiwit, upaya ini sekaligus berdampak positif meningkatkan kecintaan warga terhadap cagar budaya yang ada di sekitarnya.
”Berdasarkan pada kecintaan itu, maka warga pun secara otomatis akan menjaga dan merawat cagar budaya di sekitarnya. Perasaan menjaga dan melindungi itu dengan sendirinya muncul karena menyadari bahwa cagar budaya itu sumber inspirasi dan penghidupan mereka,” ujarnya.
Hari Setyawan dari Balai Konservasi Borobudur mengatakan, Balai Konservasi Borobudur, bekerja sama dengan UNESCO, juga pernah menawarkan gambar relief-relief dari berbagai candi untuk dijadikan sebagai motif batik di Desa Borobudur dan Wanurejo, Kecamatan Borobudur.
Pemilihan relief itu, menurut Hari, sengaja dilakukan karena tidak semua relief candi bisa dijadikan motif batik.
”Dalam pertemuan dengan UNESCO dan para pebatik, kami pun sudah menjelaskan bahwa karena alasan religius dan menghormati agama Buddha dan Hindu, kami juga melarang warga untuk mengembangkan motif batik dari gambar dewa-dewi yang ada di relief candi,” ujarnya.
Tahun 2015, gambar-gambar relief yang ditawarkan sebagai motif batik itu antara lain adalah Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Sojiwan, Prambanan, dan Plaosan. Gambar yang ditawarkan adalah gambar relief dekoratif candi, gambar elemen arsitektural candi, dan relief cerita yang ada di dinding candi.
Siti Ruqoyah, salah seorang perajin batik yang tergabung dalam kelompok perajin Rumah Batik Borobudur, mengatakan, dari 10 gambar relief yang dahulu sempat ditawarkan dari Balai Konservasi Borobudur, pihaknya kini telah mampu mengembangkan hingga lebih dari 20 macam motif batik. Gambar relief tersebut, ujarnya, dikombinasikan dengan berbagai gambar lain seperti gambar binatang dan bunga.
Kepala Balai Pelestari Nilai Budaya DIY Zaimul Azzah mengatakan, motif batik kini telah berkembang pesat, mencapai ratusan motif, yang tersebar di dalam dan luar Jawa. Dia pun mendorong para perajin untuk terus memperbanyak motif batik karena upaya itu sekaligus semakin memperkuat citra batik sebagai warisan tak benda khas Indonesia.