PALANGKARAYA, KOMPAS - Bisnis rotan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, dihidupkan kembali melalui kerja sama dengan sejumlah pihak. Setelah dipetakan, sedikitnya terdapat 104.572 hektar lahan rotan yang belum dipanen dengan taksiran produksi mencapai 12.696 ton per bulan.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Katingan Hulu Unit XVII akan mengoptimalkan hasil rotan dengan menggandeng pelaku industri dan lembaga swadaya masyarakat seperti World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia dan Fairventures Worldwide.
Kepala KPHP Katingan Hulu Unit XVII Kristianto, Rabu (3/10/2018), mengatakan, ada 17 jenis hasil hutan bukan kayu yang bisa dimanfaatkan dari 672.926 hektar lahan di wilayahnya. Di antaranya rotan, bambu, dan minyak astiri.
Dari data itu ada 104.572 hektar lahan rotan yang belum dipanen dengan taksiran produksi 12.696 ton per bulan dan potensi produksi rotan asalan 136.029 ton per tahun.
Identifikasi itu dilakukan melalui pengecekan lapangan dan melalui udara oleh KPHP dan WWF Indonesia di Kalteng. WWF pun sudah lama melakukan identifikasi dan pendampingan petani di Katingan. ”Kami menginventaris saja belum dipetakan semuanya. Kami menemukan banyak jenis rotan terbaik. Ini yang harus dimanfaatkan karena saat ini permintaan tinggi, tetapi bahan bakunya sedikit,” kata Koordinator Program Rotan LestariWorld Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia di Kalteng Indra Bayu Patimaleh.
Kelompok tani
Bayu menjelaskan, tidak bisa dipenuhinya permintaan yang tinggi itu karena banyak persoalan, salah satunya soal harga. Di Kalimantan Tengah, harga rotan berbeda-beda. Di Katingan, rotan dihargai Rp 1.200 sampai Rp 1.500 per kilogram. Sementara di Kabupaten Kotawaringin Timur harga rotan bisa Rp 2.400-Rp 3.200 per kilogram, tergantung dari jenis dan tingkat kering rotan.
Rendahnya harga rotan di Katingan menyebabkan petani enggan memanen rotan. Oleh karena itu, pihaknya membentuk Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) yang beranggota 270 orang untuk memperkuat daya tawar petani. Kelompok tani itu merupakan satu-satunya kelompok yang memiliki sertifikat Forest Stewardship Council (FSC). Artinya, rotan hasil kelompok tani itu diambil dari hutan yang dikelola dengan baik.
”Intinya, wilayah yang dikelola KPHP itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya karena isu alih fungsi lahan sangat tinggi di Katingan, apalagi konsesi sudah ada sebelum KPHP dibentuk,” ungkap Bayu.
Sedikitnya terdapat beberapa perizinan yang sudah masuk sebelum KPHP tersebut ada. Rinciannya, 15 konsesi HPH, 17 konsesi pertambangan, 7 konsesi perkebunan, dan 4 konsesi pemanfaatan hutan kayu/hutan tanaman. ”Harus ada payung hukum yang melindungi agar KPHP bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di wilayah konsesi,” kata Bayu.
Kepala Perwakilan Fairventures Worldwide di Indonesia Panduh Tukat mengatakan, pihaknya sudah menandatangani nota kesepamahaman dengan KPHP Katingan Hulu Unit XVII dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng dalam rangka mewujudkan ekonomi kemasyarakatan yang lestari dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Selama ini pemda lebih fokus kelapa sawit dan karet. (IDO)