JAKARTA, KOMPAS — Konflik kepemilikan tanah antara masyarakat adat dan pemerintah masih rawan menjadi masalah di kawasan pariwisata Danau Toba, Sumatera Utara. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan pariwisata danau itu layak dikaji ulang demi kesejahteraan masyarakat.
”Berdasarkan riset yang dilakukan di sejumlah kabupaten di kawasan Danau Toba, masyarakat mengkhawatirkan dampak pembangunan pariwisata.
Kekhawatiran itu terkait kepemilikan tanah dan hutan,” kata Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Suryati Simanjuntak di Jakarta, Kamis (4/10/2018).
Kawasan Danau Toba ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya. Tujuannya adalah menjamin pelestarian kawasan Danau Toba, mulai dari ekosistem, sumber daya air, dan kawasan kampung masyarakat adat Batak.
Suryanti mengatakan, pemerintah mengklaim bahwa hampir semua tanah di sana adalah milik negara. Namun, masyarakat adat punya versi lain. Mereka mengatakan, hutan sudah dimiliki dan diusahakan oleh para leluhur sejak ratusan tahun lalu.
”Mari belajar mendengar dan memahami kebutuhan masyarakat. Kami harap pembangunan pariwisata bisa menyejahterakan masyarakat. Semoga bukan memperparah masalah yang sudah ada, seperti konflik agraria,” kata Suryati.
Kepala Subdirektorat Pemetaan Konflik pada Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Prayogo Utomo mengatakan, pemerintah akan memberikan hak tanah untuk masyarakat adat. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak.
Mediasi
Menurut dia, hak kelola hutan hanya bisa diberikan kepada masyarakat adat. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus memberi pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat itu. Kemudian, KLHK akan memverifikasi keberadaan masyarakat adat sebelum memberi hak kelola hutan.
Konflik agraria, menurut Prayogo, dapat dilaporkan ke KLHK. Nantinya, KLHK akan berperan sebagai mediator bagi pihak-pihak yang berkonflik. Sejauh ini, menurut dia, mediasi adalah cara terbaik mengatasi konflik yang terjadi.
Menurut data KLHK, ada sekitar 250 kasus konflik agraria yang tercatat sejak 2015 hingga Agustus 2018. Prayogo mengatakan, kebanyakan konflik terjadi di Sumatera Utara.
Salah kaprah
Rencana pembangunan pariwisata di Danau Toba menggunakan prinsip ekowisata. Namun, menurut anggota tim peneliti ekowisata Sajogyo Institute, Eko Cahyono, pengembangan pariwisata selama ini masih menggunakan prinsip wisata alam, termasuk di Danau Toba.
Ekowisata dan wisata alam memiliki prinsip berbeda. Pada prinsip ekowisata, aspek ekologi menjadi acuan pengembangan pariwisata.
Sementara itu, prinsip wisata alam lebih mementingkan tujuan pariwisatanya. Menurut Eko, pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menaruh perhatian serius pada aspek ekologi dan sosial. ”Jika sektor pariwisata tidak meletakkan manusia dan ekosistem sebagai satu kesatuan, berarti itu bukan ekowisata,” kata Eko.
Ia menambahkan, apabila pembangunan pariwisata mengabaikan konflik agraria, masyarakat adat bakal dirugikan. Mereka bakal kehilangan kebudayaan dan peradaban saat kehilangan tanah. (E07)