DENPASAR, KOMPAS — Tim Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memastikan tsunami terjadi bersamaan dengan gempa bermagnitudo 7,4 di Donggala-Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018.
Pergerakan kuat dari dua dinding sesar Palu-Koro yang bergerak bersamaan memicu entakan keras sehingga dinding pantai yang curam sekitar 400 meter ikut bergeser. Gerakan itu membuat air laut menyentak ke daratan sekitar 500 meter dengan tinggi 1,5 meter.
”Tsunami di Donggala-Palu berbeda dari tsunami Aceh. Beberapa alasannya karena karakteristik pantainya berbeda. Pantai Aceh landai, tidak curam. Patahan yang terjadi di Aceh juga berada di tengah laut.
Pada patahan Palu-Koro, gerakan sesar terjadi di sebagian daratan dan laut,” kata Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo di Denpasar, Bali, Jumat (5/10/2018).
Dengan hasil analisis yang didukung data lapangan serta pemetaan ini, kata Purbo, pihaknya membantah analisis yang beredar sebelumnya dari berbagai sumber yang mengatakan bahwa tsunami di Sulteng terjadi karena ada longsoran tanah di pantai. Tsunami serupa dengan karakter dinding pantai curam, ujar Purbo, pernah terjadi di Flores pada tahun 1992.
Hasil tersebut, kata Purbo, dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat untuk memahami karakter pantai serta sesar tersebut di sekitarnya. Semuanya bakal terkait dengan tata ruang pembangunan dan pemasangan alat peringatan bencana tsunami.
Pelajaran penting
Dalam kesempatan terpisah, peneliti utama Pusat Survei Geologi Badan Geologi, Asdani Soehaimi, mengatakan, bencana di Sulteng harus menjadi momentum membenahi penataan kawasan pada masa depan.
Pembangunan infrastruktur mestinya disesuaikan dengan kondisi geologi sehingga dapat mengantisipasi potensi ancaman gempa.
”Sebagai salah satu lokasi terdampak gempa dan tsunami terparah, Palu memiliki batuan sangat lunak. Banyak lokasi dengan tingkat kerentanan tinggi terdampak gempa. Hal ini harus menjadi pertimbangan dalam membangun infrastruktur,” ujar Asdani Soehaimi di Bandung, Jawa Barat.
Asdani mengatakan, sejumlah lokasi terdampak gempa terparah di Palu, seperti di sekitar Hotel Roa Roa, perumahan Petobo dan Balaroa, serta beberapa pusat perbelanjaan, berada di zona kerentanan guncangan sangat tinggi. Hal itu memicu korban jiwa dalam jumlah besar.
”Oleh sebab itu, peta mikrozonasi sangat diperlukan sebagai acuan dalam membangun infrastruktur. Jadi, pemanfaatan ruang tidak mengabaikan kondisi geologi. Pemerintah daerah harus bisa memetakan pemanfaatan tata ruang untuk mengantisipasi keadaan saat gempa terjadi,” ujarnya.
Menurut Asdani, pembangunan infrastruktur publik, seperti rumah sakit dan telekomunikasi, sebaiknya berada di kawasan dengan tingkat kerentanan gempa sekala rendah. Dengan begitu, potensi kerusakan bangunan akibat guncangan tidak terlalu tinggi.
Peneliti Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi, Taufiq Wira Buana, mengatakan, Palu mempunyai seismisitas (persebaran gempa) tinggi.
Kondisi geologi regional Palu didominasi endapan kuarter yang terdiri atas endapan fluviatil dan aluvium. Kondisi itu menyebabkan kawasan tersebut mempunyai potensi likuefaksi cukup tinggi.
”Kerawanan likuefaksi sangat penting dijadikan pertimbangan dalam merencanakan tata ruang. Sebab, likuefaksi sangat berpotensi merusak infrastruktur seperti yang terjadi di Palu,” ujarnya. (AYS/TAM)