Populerkan Destinasi Wisata melalui Festival Budaya
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Banyak cara yang dapat digunakan untuk memopulerkan suatu wilayah konservasi yang dijadikan destinasi wisata. Salah satunya adalah menyelenggarakan festival budaya. Hal itu dinilai mampu memberikan pengalaman unik guna menarik minat pengunjung untuk datang ke tempat tersebut.
Tak bisa dimungkiri bahwa banyak orang yang lebih berminat untuk berwisata ke tempat-tempat yang memiliki pemandangan alam indah. Destinasi wisata yang mengandalkan potensi berupa pendidikan dan sejarah seakan kurang dipandang sebagai suatu hal yang menarik.
Hal itu agaknya terjadi pada Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Gamping, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan itu ditetapkan sebagai cagar alam dan taman wisata alam sejak 1989. Namun, tak banyak orang yang berkunjung ke sana meskipun tempat itu sarat akan ilmu pengetahuan dan sejarah.
”Mungkin, orang-orang hanya melihat (Gunung Gamping) ini seperti batu biasa. Tetapi, seorang ahli geologi melihatnya sebagai suatu hal berharga,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta Junita Parjanti, di Taman Wisata Alam Gunung Gamping, Sabtu (6/10/2018).
Gunung Gamping adalah batuan purba berjenis eosin yang berusia sekitar 50 juta tahun. Batu itu memiliki panjang 3 meter, lebar 5 meter, dan tinggi mencapai 15 meter. Batuan itu dahulu berada di dangkalan Sahul di Benua Australia. Akan tetapi, proses geologi yang terjadi selama jutaan tahun membuat batuan itu terangkat hingga sampai di Gamping, Sleman.
”Ini membuktikan bahwa pergerakan tanah yang sepanjang 3 sentimeter per tahun itu benar terjadi,” ujar Junita.
Demi menarik masyarakat untuk berkunjung ke TWA Gunung Gamping, BKSDA menggelar festival budaya bertajuk ”Gamping Gayeng Bareng: Menjaga Tradisi, Merawat Bumi”, Sabtu. Mereka bekerja sama dengan Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman, bertepatan dengan hari jadi desa itu yang ke-263.
Kepala Seksi Wilayah I BKSDA Yogyakarta Untung Suripto mengatakan, festival itu digelar untuk mengenalkan TWA Batu Gamping secara lebih luas lagi. Konsep festival budaya dipilih agar memberi unsur hiburan kepada pengunjung dan ikut melestarikan budaya setempat.
”Festival ini dimaksud untuk menyajikan potensi budaya, sejarah, dan pendidikan di TWA Batu Gamping. Caranya dengan membuat pementasan seni tradisional yang bisa mendidik dan melibatkan masyarakat,” ucap Untung.
”Tujuan kegiatan ini adalah menarik minat pengunjung ke TWA Batu Gamping sebagai destinasi wisata berbasis budaya dan masyarakat,” lanjutnya.
Adapun hiburan berupa pementasan tradisional yang disajikan dalam festival itu adalah tari sintren dan ketoprak. Pentas ketoprak bakal memainkan lakon berjudul Kuncaraning Gunung Gamping yang menceritakan perjalanan Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I mulai dari Kasunanan Surakarta hingga Gunung Gamping.
Selain itu, diadakan pula lomba jemparingan, yaitu memanah gaya Mataram, untuk anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Sekitar 50 anak dari sejumlah sekolah di seluruh wilayah DIY mengikuti perlombaan tersebut.
Terkait segi edukasi, anak dan hadirin dalam acara itu juga diajak menonton film pendek yang menceritakan terbentuknya Gunung Gamping. Ada pula stan-stan edukatif yang mengenalkan kepada anak-anak tentang satwa-satwa yang dilindungi.