SEMARANG, KOMPAS — Sikap intoleransi menjadi awal terbentuknya radikalisme yang pada akhirnya memunculkan aksi terorisme. Guna menangkal itu, penanaman wawasan kebangsaan kepada siswa dan mahasiswa perlu diperkuat, dengan melibatkan guru serta dosen.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Hamli mengatakan, penyebaran sikap intoleransi yang kemudian berlanjut pada paham radikal tak hanya menyasar siswa SMA atau mahasiswa. Di sejumlah tempat, pemahaman itu mulai tertanam sejak pendidikan anak usia dini (PAUD).
”Ini dimulai dari intoleransi. Dari intoleran, kemudian ditanamkan kebencian terhadap sesuatu hal atau pandangan yang berbeda,” ujar Hamli dalam seminar nasional bertajuk ”Membangun Masyarakat Multikultural sebagai Upaya Melawan Radikalisme”, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (8/10/2018).
Hamli menambahkan, strategi yang perlu dilakukan antara lain dengan terus menanamkan wawasan kebangsaan. Menurut dia, guru dan dosen agama serta pendidikan kewarganegaraan berperan krusial. Mereka perlu menjelaskan secara komprehensif tentang hal-hal terkait multikulturalisme di Indonesia.
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Intan Ahmad menuturkan, Indonesia memiliki potensi besar di tingkat dunia. Bahkan, pada 2050, ekonomi Indonesia diperkirakan ada di peringkat ke-4 dunia. Namun, Indonesia pun mesti berbenah.
Menurut Intan, perbedaan sudah seharusnya tak dipermasalahkan. ”Sejak kecil, misalnya, ketika bertemu orang lain, yang ditanyakan langsung agama dan lainnya. Sejak awal, kita sudah membuka pengotak-ngotakan. Multikultural yang ada di Indonesia ini perlu benar-benar kita sadari,” ujarnya.
Intan menyarankan agar anak tidak melulu diberi tahu oleh orangtuanya, tetapi juga diberikan pilihan, termasuk dalam memilih baju, sekolah, dan lainnya. Dengan demikian, akan terbangun daya berpikir kritis pada anak. Hal tersebut juga penting guna menangkal penyebaran kabar bohong di media sosial.
Cendekiawan Muslim dan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menuturkan, dalam menyikapi multikultural di Indonesia, perlu penanaman berbagai mata kuliah yang memperkuat kebangsaan. Salah satunya, pendidikan kewarganegaraan.
”Misalnya, dengan penjelasan yang lebih kuat. Saya kira, penguatan (materi kebangsaan) ini amat diperlukan. Bahkan di luar negeri, Pancasila pun dipuji. Beberapa kali saya bertemu orang Timur Tengah yang mengatakan Indonesia beruntung memiliki Pancasila. Namun, kita sendiri belum serius,” tuturnya.
Rektor Universitas Diponegoro Yos Johan Utama mengemukakan, merawat kebangsaan mesti dilakukan dengan aksi nyata, bukan sekadar pernyataan atau lewat tagar di media sosial. Perguruan tinggi, bersama BNPT, akan terus berupaya menangkal penyebaran paham radikal di lingkungan kampus.