Hindari Polemik Pertanahan, Pemkot Surabaya dan BPN Pakai Peta Tunggal
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertahanan I dan II untuk menghindari polemik berkepanjangan terkait pertanahan. Kerja sama ini dilakukan untuk menyamakan peta pertanahan di Kota Surabaya dengan berpedoman pada peta tunggal.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, di Surabaya, Senin (8/10/2018), mengatakan, dalam setahun terakhir, peta tersebut telah digunakan Pemkot Surabaya untuk keperluan perizinan di Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang (DPRKP-CKTR). Dalam perjalanannya, masih ditemukan beberapa titik koordinat tanah yang tidak sesuai dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Akibatnya, sangat rawan muncul polemik dan klaim lahan.
”Jadi, sekarang Pemkot Surabaya dan BPN berpedoman pada satu peta dan sama. Dengan satu peta koordinat jadi sama,” kata Wali Kota Risma, Senin.
Penggunaan peta tunggal, lanjut Risma, untuk menghindari adanya polemik terkait pertanahan. Fungsi peta dalam perencanaan pembangunan merupakan hal vital, antara lain sebagai dasar pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), pengukuran persil, pendirian IMB, dan berbagai perizinan di DPRKP-CKTR.
”Sekarang semua persil tanah sudah memiliki titik koordinat. Penggunaan peta tunggal akan memperkecil peluang kesalahan ukuran, termasuk salah posisi atau letak persil,” ujarnya.
Wali Kota Risma menegaskan, dahulu beberapa pihak tertentu dengan mudah mengklaim kepemilikan lahan. Bahkan, tidak jarang pada kapling yang sama muncul beberapa sertifikat. Soal lain, salah posisi sehingga sangat merugikan pemilik persil.
Semua kesalahan muncul karena masih ada perbedaan titik koordinat antara peta tanah milik BPN dan Pemkot Surabaya. Oleh karena itu, saat ini pemkot dan BPN menggunakan peta tunggal.
”Dulu, orang gampang mengklaim kepemilikan tanah. Namun sekarang, mereka tidak bisa melakukan hal itu karena koordinat-koordinat lahan sudah terdata dan ada di Pemkot Surabaya dan BPN,” katanya.
Bahkan, ke depan, penggunaan peta tunggal akan menjadi dasar acuan penyelamatan aset pemkot. Wali Kota Risma menyebutkan, hingga saat ini, banyak aset Pemkot Surabaya yang bersengketa telah tuntas diselesaikan bersama pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya dan BPN.
”Penyelamatan aset pemkot akan berlanjut sampai semua aset kembali ke pemkot,” ucap Risma.
Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini pun optimistis, penggunaan peta tunggal tersebut akan semakin mendukung proses penyelamatan aset pemkot. Hingga saat ini, penyelamatan aset Pemkot Surabaya menunjukkan hal yang signifikan. Bahkan, kini beberapa aset pemkot sudah tersertifikasi.
”Awal menjabat wali kota pada 2010, baru 4 persen aset terutama tanah yang tersertifikasi, sekarang sudah hampir 60 persen,” ucap wali kota kelahiran Kediri ini.
Bangunan yang sudah ada di lahan milik pemkot yang telah diselamatkan kini mulai dibersihkan karena areal segera dipakai oleh pemkot untuk memenuhi kepentingan warga, seperti membangun sekolah, pasar, kantor kelurahan dan kecamatan, atau untuk pusat pelatihan warga, atau tempat parkir.
Pada 2017, Pemkot Surabaya berhasil menyelamatkan 20 aset. Total luas ke-20 lokasi aset itu 552.957 meter persegi atau 55,3 hektar dengan nilai Rp 617 miliar. Empat lokasi aset berhasil diselamatkan pada 2016 dan 16 lokasi sisanya diselamatkan tahun 2017.
Menurut Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya Maria Rahayu, 4 aset yang diselamatkan pada 2016 itu berada di wilayah Komering, Kendangsari, Kalirungkut, dan Panjangjiwo. Sementara 16 lokasi yang diselamatkan pada 2017 antara lain AJB Bumi Putera Jalan Basuki Rahmat dan tanah Makam Keputih, Dupak, TPA Benowo, serta Jalan Margorejo. Proses penyelamatan ke-20 aset itu dilakukan sejak 2014.