BANDUNG, KOMPAS — Sejumlah elemen serikat buruh meminta Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan dan Pelaksanaan Upah Minimum di Daerah Provinsi Jabar untuk dicabut. Penerbitan peraturan gubernur itu dinilai dilakukan sepihak sehingga merugikan buruh, terutama terkait upah minimum sektoral kabupaten/kota.
”Sebelum masuk pembahasan UMSK, kami meminta peraturan gubernur (pergub) ini dicabut dulu karena dibuat prosesnya tidak melibatkan kalangan buruh dari pasal demi pasal. Pergub ini juga terkesan tergesa-gesa dilakukan saat masa transisi gubernur. Buruh akan dirugikan,” kata Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto yang bersama sejumlah perwakilan dari lima elemen serikat buruh beraudiensi dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Bandung, Senin (8/10/2018). Audiensi itu berlangsung tertutup.
Menurut Roy, pergub itu diterbitkan pada 4 September 2018 saat dijabat Penjabat Gubernur Jabar Mochamad Iriawan. Sementara gubernur baru Jabar Ridwan Kamil baru dilantik 5 September.
”Semestinya draf pergub ini biar dibahas oleh gubernur yang baru dengan menerima masukan, baik dari kalangan pengusaha maupun buruh,” ujar Roy.
Roy menjelaskan, dalam pergub ini terdapat beberapa pasal yang dinilai akan merugikan buruh, di antaranya pembahasan UMSK dan perundingan dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kabupaten/kota harus mendapat surat kuasa dari masing-masing perusahaan. Hal ini dinilai tidak masuk akal mengingat terdapat ribuan industri di Jabar.
Jika Apindo tidak mendapat surat kuasa dari perusahaan, UMSK tidak bisa ditetapkan. Dengan demikian, yang dirugikan adalah buruh karena tidak ada kenaikan upah, dan yang dikhawatirkan pula pihak pengusaha akan mengacu pada UMK yang nilainya lebih lebih kecil dari UMSK. Nilai UMSK lebih tinggi dari UMK karena ditetapkan mengacu sebagai sektor unggulan.
Keberatan lain bagi buruh, dalam pergub itu, UMSK berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan dalam pergub tersebut diatur penetapan UMSK paling lambat Februari. Padahal, Dewan Pengupahan se-Jabar telah menyepakati UMSK selambat-lambatnya ditetapkan pada Desember sehingga pada 1 Januari buruh sudah dapat menerima UMSK yang baru.
”Untuk UMK ditetapkan 21 November dan berlaku pada 1 Januari. Diharapkan penetapan UMSK setidaknya ditetapkan selambat-lambatnya pada Desember supaya pada Januari sudah berlaku sehingga buruh juga menerima peningkatan upah,” ucap Roy.
Menurut Roy, berhubung pihak gubernur sudah menampung aspirasi buruh, rencana unjuk rasa pada 10 dan 23 Oktober ini dibatalkan. ”Kami ingin melihat bagaimana respons gubernur,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, aspirasi buruh itu akan ditampung. ”Saya akan pelajari pergub ini secara detail dan tak hanya menerima masukan dari buruh, tetapi juga saya akan menerima masukan dari dinas terkait ataupun Apindo,” ucap Ridwan.
Setelah pertemuan dengan perwakilan serikat buruh, berikutnya Ridwan mengagendakan pertemuan khusus dengan jajaran dinas tenaga kerja dan transmigrasi Jabar, baru kemudian pertemuan dengan Apindo.
”Setelah menerima berbagai masukan dan mengacu pada regulasi yang ada, saya akan mengambil keputusan terkait pergub ini,” katanya.
Ridwan juga mengimbau kepada para buruh untuk tidak berunjuk rasa. ”Saya ingin buruh tidak usah demonstrasi. Mari kita duduk bersama membahas upah minimum ini dengan adil dan baik,” ucap Ridwan.
Sementara itu, ketika dikonfirmasi, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Ferry Sofwan Arif mengatakan, pembahasan UMSK itu seharusnya di tingkat kabupaten/kota. ”Namun, selama ini umumnya pembahasan di kabupaten/kota tidak tuntas. Bola panas dilempar ke provinsi untuk menetapkan UMSK,” kata Ferry.